Menavigasi Era "Bodoh Bibir"

TEMA: Jejak Digital vs. Jejak Kehidupan (Amsal 10:6-14)

Jika kita membuka media sosial hari ini, kita akan menemukan dua hal yang kontras: orang-orang yang membangun (memberi inspirasi, edukasi, atau sekadar tawa sehat) dan orang-orang yang meruntuhkan (menebar kebencian, hoaks, dan fitnah).

Ribuan tahun sebelum ada internet, penulis Amsal sudah memotret fenomena ini. Bacaan kita hari ini, Amsal 10:6-14, adalah laporan investigasi tajam tentang dampak kata-kata dan karakter.

Mari kita bedah beberapa temuan pentingnya.

Fakta Lapangan 1: Bahaya Laten Si "Bodoh Bibir"

Amsal hari ini berulang kali memperingatkan kita tentang "si bodoh bibir" (ayat 8 dan 10). Dalam bahasa kekinian, ini adalah orang yang asal bicara, asal posting, asal komen. Jarinya lebih cepat dari otaknya.

Apa hasilnya? "Akan jatuh" (ayat 8).

Di era digital, kejatuhan ini bisa berarti viral karena hal bodoh, kehilangan reputasi, atau merusak hubungan. Ayat 14 lebih tajam lagi: "Mulut orang bodoh adalah kebinasaan yang mengancam."

Betapa seringnya sebuah tweet atau status WhatsApp yang tidak bijak menjadi "kebinasaan" yang mengancam keutuhan keluarga, persahabatan, atau bahkan kerukunan di masyarakat.

Fakta Lapangan 2: Benci Memicu "Pertengkaran"

Ayat 12 adalah diagnosis sosial yang akurat: "Kebencian menimbulkan pertengkaran..."

Lihatlah kolom komentar di berita politik atau gosip artis. Kebencian adalah bahan bakar utama yang memicu pertengkaran dan perpecahan. Sebagai keluarga Kristen, kita sering dihadapkan pada pilihan: ikut "meramaikan" pertengkaran dengan komentar sinis, atau mengambil sikap berbeda?

Laporan Pandangan Mata: Jalan Orang Benar

Syukurlah, Amsal tidak hanya melaporkan keburukan. Ia memberi kontras yang indah.

  • "Mulut orang benar adalah sumber kehidupan" (ayat 11).
  • "Kenangan kepada orang benar mendatangkan berkat" (ayat 7).
  • "Siapa bersih kelakuannya, aman jalannya" (ayat 9).

Inilah yang seharusnya menjadi ciri khas keluarga kita. Di tengah dunia yang bising oleh "si bodoh bibir", mulut (dan ketikan jari) kita seharusnya menjadi sumber kehidupan.

Saat orang lain sibuk menghujat, kita memilih mengasihi, karena "...tetapi kasih menutupi segala pelanggaran" (ayat 12).

Kesimpulan: Bijak Menyimpan, Bijak Berbagi

Dunia digital adalah dunia yang tidak bisa melupakan. Apa yang kita ucapkan dan tulis hari ini akan menjadi "kenangan" di masa depan. Pertanyaannya, apakah kenangan itu mendatangkan berkat, atau menjadi "nama... yang busuk"? (ayat 7).

Amsal menutup dengan nasihat praktis: "Orang bijak menyimpan pengetahuan..." (ayat 14).

Sebelum berbicara atau mem-posting, mari kita "simpan" dulu. Kita saring dulu. Apakah ini benar? Apakah ini perlu? Apakah ini membangun?

Tugas kita di dunia yang penuh polusi kata-kata ini adalah menjadi filter, bukan menjadi amplifier kebisingan. Mari kita pilih untuk menjadi keluarga yang jalannya aman karena integritas kita—baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Bahan Diskusi Keluarga:

  1. Pernahkah kita (sebagai anggota keluarga) terlanjur menjadi "si bodoh bibir" di media sosial? Apa dampaknya?
  2. Bagaimana cara praktis keluarga kita bisa menjadi "sumber kehidupan" (ayat 11) di grup WhatsApp atau media sosial kita minggu ini?

Mari kita berdoa.

Bapa di Surga, terima kasih atas firman-Mu yang mengingatkan kami akan kekuatan kata-kata. Ampuni kami jika mulut dan jari kami seringkali lebih cepat dari hati kami yang bijak. Ajar kami untuk menyimpan pengetahuan-Mu, sehingga apa yang keluar dari hidup kami bukanlah kebinasaan, melainkan sumber kehidupan yang memberkati sesama. Dalam nama Yesus Kristus. Amin.




Elya G. Muskitta, Elya Muskitta, Renungan Online, Sinode Am GPI, Gereja Bersaudara, Sidang Online.

Masuk untuk meninggalkan komentar