Deforestasi, Dampak Sosio-Ekonomi, dan Tata Kelola Hutan Indonesia (2000-2024)

Hutan di Persimpangan Jalan

Ringkasan Eksekutif

Indonesia, sebagai rumah bagi salah satu hamparan hutan hujan tropis terbesar di dunia, berada pada titik kritis. Selama lebih dari dua dekade terakhir, negara ini telah menyaksikan kehilangan tutupan hutan dalam skala masif, dengan konsekuensi ekologis, sosial, dan ekonomi yang mendalam dan berjangka panjang. Laporan ini menyajikan analisis komprehensif mengenai deforestasi, konversi hutan, dan kebakaran hutan di Indonesia dari tahun 2000 hingga 2024, dengan tujuan untuk memberikan landasan bukti yang kuat bagi para pembuat kebijakan, lembaga pembangunan, dan masyarakat sipil.

Analisis data menunjukkan skala krisis yang mengkhawatirkan: sejak tahun 2001, Indonesia telah kehilangan lebih dari 32 juta hektare (Mha) tutupan pohon, setara dengan 20% dari total tutupan pohon pada tahun 2000. Kehilangan ini termasuk 10,7 Mha hutan primer yang tak tergantikan, ekosistem vital yang merupakan benteng terakhir bagi keanekaragaman hayati dan stabilitas iklim. Pendorong utama di balik kehilangan ini telah bergeser secara signifikan. Jika di masa lalu pembalakan liar menjadi sorotan utama, kini deforestasi yang disanksi oleh negara, yang terjadi secara sah di dalam konsesi industri untuk perkebunan kelapa sawit, industri bubur kertas (pulpwood), dan pertambangan, telah menjadi motor dominan perusakan hutan.

Dampak dari konversi lahan skala besar ini melampaui statistik kehilangan hektare. Di tingkat tapak, terutama di desa-desa yang berbatasan langsung dengan hutan, konsekuensinya sering kali menghancurkan. Laporan ini mendokumentasikan bagaimana deforestasi memicu konflik agraria yang berkepanjangan, mengikis budaya dan pengetahuan tradisional masyarakat adat yang telah hidup harmonis dengan hutan selama berabad-abad, serta menciptakan kerentanan baru terhadap bencana ekologis seperti banjir dan kekeringan. Transformasi ekonomi yang dijanjikan sering kali berujung pada ketidaksetaraan yang semakin dalam dan ketergantungan pada model ekonomi ekstraktif yang tidak berkelanjutan, mengancam ketahanan pangan dan air nasional dalam jangka panjang.

Evaluasi kritis terhadap kebijakan tata kelola hutan menunjukkan adanya paradoks yang fundamental. Di satu sisi, pemerintah telah meluncurkan inisiatif ambisius seperti Moratorium Hutan permanen dan komitmen iklim FOLU Net Sink 2030. Namun, di sisi lain, kebijakan ini secara sistematis dilemahkan oleh agenda pembangunan lain yang justru mendorong deforestasi, seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) termasuk program Food Estate dan ekspansi pertambangan. Inkoherensi kebijakan ini merupakan kegagalan tata kelola inti yang menghambat kemajuan signifikan.

Berdasarkan temuan ini, laporan ini mengajukan serangkaian rekomendasi yang saling terkait. Di tingkat nasional, diperlukan reformasi sistemik yang mencakup penguatan dan perluasan moratorium hutan, percepatan pengakuan hak-hak masyarakat adat secara substantif, dan pembentukan mekanisme untuk memastikan koherensi kebijakan lintas-sektoral. Penegakan hukum yang tegas terhadap aktor korporasi, bukan hanya pelaku skala kecil, menjadi krusial. Di tingkat regional, solusinya terletak pada perencanaan tata ruang berbasis ekosistem, pengembangan ekonomi lokal non-ekstraktif, dan pembentukan mekanisme resolusi konflik yang adil.

Pada akhirnya, laporan ini menyimpulkan bahwa Indonesia harus memilih antara melanjutkan jalur pembangunan ekstraktif yang terbukti merusak atau menempa paradigma baru. Paradigma ini harus memandang hutan bukan sebagai komoditas yang dapat dilikuidasi, melainkan sebagai aset fundamental bagi ketahanan ekologis, keadilan sosial, dan ekonomi berkelanjutan yang sejati. Pilihan yang dibuat hari ini akan menentukan masa depan hutan Indonesia dan kesejahteraan generasi mendatang.


Bab 1: Lanskap Nasional Kehilangan Hutan (2000-2024)

Bab ini bertujuan untuk menetapkan skala, penyebab utama, dan dinamika deforestasi di tingkat nasional. Analisis ini menyoroti tren selama lebih dari dua dekade, mengidentifikasi pendorong utama konversi hutan, serta mengkaji peran kebakaran sebagai faktor perusak yang signifikan. Sebuah tema kritis yang muncul adalah adanya perbedaan data yang tajam antara sumber resmi pemerintah dan pemantauan independen, yang memiliki implikasi mendalam terhadap tata kelola hutan.

1.1. Mengukur Krisis Dua Dekade: Deforestasi dan Konversi Hutan

Skala kehilangan hutan di Indonesia sejak awal milenium ini sangatlah besar. Data dari berbagai sumber, meskipun terkadang berbeda dalam angka pastinya, secara konsisten melukiskan gambaran kerusakan ekologis yang luas.

Total Kehilangan Hutan: Berdasarkan analisis data satelit, dari tahun 2001 hingga 2024, Indonesia kehilangan tutupan pohon seluas 32,0 juta hektare (Mha). Angka ini setara dengan hilangnya 20% dari seluruh area tutupan pohon yang ada pada tahun 2000. Kehilangan sebesar ini juga melepaskan emisi karbon dalam jumlah yang sangat besar, diperkirakan mencapai 23,2 gigaton setara CO2​ (CO2​e).1 Angka-angka ini belum memperhitungkan perolehan kembali tutupan pohon pada periode yang sama, namun menyoroti besarnya tekanan terhadap ekosistem hutan.

Kehilangan Hutan Primer—Inti yang Tak Tergantikan: Di dalam total kehilangan tersebut, yang paling mengkhawatirkan adalah hilangnya hutan primer basah (humid primary forest). Ekosistem ini, yang dicirikan oleh keanekaragaman hayati yang kaya dan stok karbon yang tinggi, secara efektif tidak dapat dipulihkan begitu hilang. Dari tahun 2002 hingga 2024, Indonesia kehilangan 10,7 Mha hutan primer. Kehilangan ini menyumbang 34% dari total kehilangan tutupan pohon pada periode yang sama dan menandai penurunan sebesar 11% dari total luas hutan primer yang dimiliki Indonesia pada awal periode tersebut.1 Kehilangan ini merupakan pukulan telak bagi upaya konservasi global dan komitmen iklim nasional.

Dikotomi Data: Narasi Resmi vs. Realitas Lapangan: Salah satu tantangan terbesar dalam memahami dan mengatasi deforestasi di Indonesia adalah perbedaan yang signifikan dan persisten antara data yang dirilis oleh pemerintah dan data dari lembaga pemantau independen. Perbedaan ini bukan sekadar masalah teknis atau metodologis, melainkan telah menjadi arena politik yang mempengaruhi persepsi publik dan arah kebijakan.

  • Narasi Pemerintah (KLHK): Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) secara konsisten melaporkan tren penurunan laju deforestasi yang signifikan, terutama dalam dekade terakhir.4 Angka-angka ini sering kali ditampilkan di forum-forum internasional sebagai bukti keberhasilan kebijakan pemerintah.6 Sebagai contoh, KLHK merilis angka deforestasi netto untuk periode 2022-2023 hanya sebesar 175,4 ribu hektare (kha).5 Narasi keberhasilan ini, meskipun mungkin sebagian didasarkan pada upaya yang tulus, berisiko menciptakan rasa puas diri yang berbahaya dan mengaburkan skala masalah yang sebenarnya.
  • Analisis Independen (GFW, FWI, Auriga): Sebaliknya, organisasi masyarakat sipil seperti Forest Watch Indonesia (FWI) dan Auriga Nusantara, yang sering menggunakan platform data Global Forest Watch (GFW), menyajikan gambaran yang jauh lebih suram. Analisis mereka menunjukkan laju deforestasi yang tetap tinggi dan bahkan meningkat pada tahun-tahun tertentu. FWI, misalnya, mencatat deforestasi seluas 1,9 juta hektare hanya dalam periode 2021-2023.7 Auriga Nusantara melaporkan angka deforestasi pada tahun 2024 mencapai 261.575 hektare, sepertiga lebih besar dari angka pemerintah dan merupakan yang tertinggi sejak 2021.8 Sejarah menunjukkan adanya pola di mana pemerintah terkadang menolak temuan ilmiah yang kritis sebagai "berbau politis" 9, yang semakin memperkuat pandangan bahwa data telah menjadi alat untuk manajemen narasi, bukan landasan netral untuk pembuatan kebijakan.

Perbedaan data ini menjadi temuan kunci itu sendiri. Ketidakselarasan ini menghambat evaluasi kebijakan yang akurat dan merusak kepercayaan antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas internasional. Tanpa data yang disepakati bersama dan transparan, upaya untuk merancang solusi yang efektif akan selalu terhambat.

1.2. Mesin-Mesin Konversi: Mengidentifikasi Pendorong Dominan

Kehilangan hutan di Indonesia didorong oleh serangkaian aktivitas ekonomi yang mengubah lanskap secara permanen. Analisis dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa antara tahun 2001 dan 2024, sekitar 76% dari total kehilangan tutupan pohon terjadi di area dimana pendorong utamanya mengakibatkan deforestasi permanen, bukan sekadar gangguan sementara.1

Pendorong-pendorong ini dapat dikategorikan sebagai berikut:

  • Pertanian Permanen Skala Besar: Ini adalah pendorong deforestasi terbesar, bertanggung jawab atas hilangnya tutupan pohon seluas 23,4 Mha.3 Kategori ini didominasi oleh perkebunan industri skala besar, terutama untuk komoditas ekspor.
  • Komoditas Industri: Permintaan global yang tinggi untuk komoditas tertentu telah menjadi mesin utama di balik konversi hutan. Studi menunjukkan bahwa permintaan akan hasil pertanian telah mendorong lebih dari 50% deforestasi di negara-negara tropis.10 Di Indonesia, komoditas utamanya adalah
    kelapa sawit, bubur kertas (pulpwood), dan pertambangan (terutama nikel dan batu bara).8
  • Penebangan Hutan dan Perladangan Berpindah: Aktivitas penebangan hutan untuk kayu (di luar konversi permanen) dan perladangan berpindah secara tradisional juga berkontribusi, masing-masing menyumbang gangguan seluas 3,33 Mha dan 1,79 Mha.3 Namun, dampaknya sering kali bersifat sementara jika hutan dibiarkan beregenerasi, berbeda dengan konversi menjadi perkebunan atau tambang.
  • Permukiman dan Infrastruktur: Pembangunan permukiman dan proyek infrastruktur secara langsung menyebabkan hilangnya tutupan pohon seluas 122 kha.3 Meskipun angkanya lebih kecil, dampak tidak langsung dari pembukaan akses ke area hutan yang sebelumnya terisolasi bisa jauh lebih besar.

Sebuah tren yang sangat penting untuk dipahami adalah pergeseran dari deforestasi yang didominasi oleh aktivitas ilegal menjadi deforestasi yang terjadi secara legal di dalam konsesi yang dikeluarkan oleh negara.8 Analisis untuk tahun 2024 menunjukkan bahwa sebagian besar kehilangan hutan terjadi di dalam area konsesi yang sah. Hal ini menyiratkan bahwa masalahnya bukan lagi sekadar penegakan hukum terhadap pembalak liar, tetapi telah berakar pada sistem perencanaan tata ruang, proses perizinan, dan strategi pembangunan nasional itu sendiri. FWI mencatat bahwa deforestasi di dalam konsesi seharusnya dapat dicegah jika pemerintah tidak menyetujui rencana usaha perusahaan yang destruktif.5 Ini menunjukkan bahwa negara, melalui kebijakannya, secara aktif memfasilitasi deforestasi yang ingin dicegahnya melalui komitmen lain.

1.3. Bencana Api: Kronik Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla)

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) adalah fitur yang berulang dan merusak dalam lanskap ekologis Indonesia. Seringkali terkait erat dengan praktik pembukaan lahan untuk perkebunan, Karhutla tidak hanya menghancurkan tutupan hutan tetapi juga melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar, menyebabkan kerugian ekonomi, dan menimbulkan krisis kesehatan masyarakat akibat kabut asap.

Dari tahun 2001 hingga 2024, Indonesia kehilangan 2,97 Mha tutupan pohon secara langsung akibat kebakaran.1 Tahun-tahun dengan puncak kebakaran, seperti 2015-2016 dan 2019, sangat berkorelasi dengan fenomena iklim El Niño yang menyebabkan kekeringan parah, yang diperparah oleh drainase lahan gambut yang masif untuk perkebunan. Tahun 2016 mencatat kehilangan tutupan pohon akibat kebakaran tertinggi, yaitu seluas 729 kha, meskipun sebagian dari kebakaran ini sebenarnya terjadi pada akhir 2015.1

Emisi dari kebakaran ini, terutama di lahan gambut, menjadikan sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (FOLU) sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia.12 Data terbaru terus menunjukkan ancaman yang berkelanjutan. Hingga September 2024, luas Karhutla di Indonesia telah mencapai 283.620 hektare.13 Analisis lain mengindikasikan area terbakar seluas 40.000 hektare hanya dalam periode Januari-April 2024.14

Kebakaran bukan hanya bencana alam; ia adalah alat dan konsekuensi dari model pengelolaan lahan yang tidak berkelanjutan. Praktik "slash-and-burn" (tebang dan bakar) masih digunakan sebagai metode pembukaan lahan yang murah, dan lahan gambut yang telah dikeringkan menjadi sangat rentan terbakar dan sulit dipadamkan.

Tahun

Kehilangan Tutupan Pohon (Mha - GFW)

Deforestasi Netto (Ribu Ha - KLHK)

Kehilangan Hutan Primer (Ribu Ha - GFW)

2001

1,30

-

-

2002

1,51

-

993

2003

1,18

-

711

2004

1,81

-

884

2005

2,04

-

954

2006

1,60

-

722

2007

1,44

-

682

2008

1,59

-

841

2009

1,75

-

808

2010

1,22

-

506

2011

1,61

-

772

2012

1,88

-

929

2013

1,34

730

569

2014

1,98

400

838

2015

2,08

1.090

903

2016

2,43

630

954

2017

1,63

480

618

2018

1,38

439,4

465

2019

1,56

462,5

480

2020

1,17

115,5

276

2021

1,06

113

240

2022

1,01

104

230

2023

0,91

175,4 (data 2024)

215

2024

0,26

175,4

107

Sumber: Diolah dari GFW 1 dan KLHK.5 Catatan: Data GFW adalah kehilangan tutupan pohon bruto, sedangkan data KLHK adalah deforestasi netto. Metodologi dan definisi berbeda, yang menjelaskan sebagian dari diskrepansi. Data GFW untuk 2024 adalah parsial. Data KLHK untuk 2023 tidak tersedia, yang ditampilkan adalah data untuk 2024.






Tahun

Total Area Terbakar (Ha - KLHK SiPongi & Sumber Lain)

Kehilangan Tutupan Pohon Akibat Kebakaran (Ribu Ha - GFW)

2014

44.532

158

2015

2.611.411

592

2016

438.360

729

2017

165.484

148

2018

510.564

137

2019

1.649.258

417

2020

296.942

119

2021

358.867

53,6

2022

204.894

47,8

2023

1.161.193

64,5

2024 (hingga Sep)

283.620

25,1

Sumber: Diolah dari GFW 1, KLHK 18, Goodstats 13, dan sumber lain.19 Catatan: Data luas terbakar dari KLHK mencakup semua lahan, sedangkan data GFW secara spesifik mengukur kehilangan tutupan pohon akibat kebakaran.






Bab 2: Analisis Regional: Episentrum Deforestasi

Pendorong deforestasi nasional termanifestasi secara berbeda di setiap wilayah, bergantung pada konteks ekologis, sejarah eksploitasi, dan struktur sosial-ekonomi lokal. Analisis regional ini membedah dinamika di episentrum-episentrum utama—Sumatra, Kalimantan, Papua, dan Sulawesi—untuk mengungkap bagaimana krisis ini berlangsung di tingkat tapak.

2.1. Sumatra: Warisan Kelapa Sawit dan Degradasi Lahan Gambut

Pulau Sumatra telah lama menjadi garis depan deforestasi di Indonesia. Provinsi-provinsi seperti Riau, Sumatra Selatan, dan Jambi secara konsisten menempati peringkat teratas dalam kehilangan hutan.2 Riau, secara khusus, menanggung beban terberat, dengan kehilangan tutupan pohon mencapai 4,30 Mha antara tahun 2001 dan 2024—angka tertinggi di antara semua provinsi di Indonesia.1

Pendorong utama di Sumatra adalah ekspansi perkebunan industri yang agresif selama beberapa dekade, terutama kelapa sawit dan akasia untuk bubur kertas (pulpwood).8 Sebagian besar ekspansi ini terjadi di ekosistem lahan gambut yang rapuh. Untuk menanam komoditas ini, lahan gambut harus dikeringkan melalui pembangunan kanal-kanal drainase yang ekstensif. Proses ini memiliki konsekuensi ekologis yang menghancurkan:

  1. Emisi Karbon Masif: Lahan gambut yang kering mengalami dekomposisi dan oksidasi, melepaskan cadangan karbon yang telah tersimpan selama ribuan tahun ke atmosfer.20
  2. Subsiden Lahan: Pengeringan menyebabkan permukaan tanah gambut menurun (subsiden), meningkatkan risiko banjir permanen di area pesisir.20
  3. Kerentanan Kebakaran Ekstrem: Gambut yang kering menjadi sangat mudah terbakar. Sekali terbakar, api di bawah permukaan sangat sulit dipadamkan dan dapat berlangsung selama berbulan-bulan, menghasilkan kabut asap tebal yang melumpuhkan wilayah tersebut.21

Dampak sosial-ekonomi dari model pembangunan ini sangat mendalam. Ekspansi perkebunan telah mengubah struktur ekonomi pedesaan secara fundamental, dari sistem pertanian yang beragam menjadi ketergantungan pada monokultur.22 Meskipun dapat memberikan pendapatan tunai, model ini juga menciptakan kerentanan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Lebih penting lagi, ekspansi ini sering kali terjadi dengan mengorbankan hak-hak masyarakat lokal, memicu konflik lahan yang berkepanjangan dan sulit diselesaikan.23 Studi kasus di Kabupaten Pelalawan, Riau, menunjukkan bahwa ekspansi kelapa sawit menyebabkan kesenjangan ekonomi yang semakin tajam, perubahan norma adat, dan munculnya konflik-konflik baru di masyarakat.23 Dalam jangka panjang, degradasi tanah dan kebutuhan air yang tinggi dari perkebunan monokultur mengancam kesuburan tanah dan memicu krisis air di masa depan.25

2.2. Kalimantan: Pergeseran Garis Depan—Dari Kayu ke Sawit, Pulp, dan Tambang

Kalimantan telah mengambil alih peran Sumatra sebagai episentrum deforestasi utama di Indonesia. Seluruh provinsi di Kalimantan termasuk dalam kategori kritis, dengan Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur secara konsisten berada di lima besar provinsi dengan kehilangan tutupan pohon tertinggi.1 Pada tahun 2024, Kalimantan menyumbang hampir separuh dari total deforestasi di Indonesia.8 Provinsi Kalimantan Timur menjadi provinsi dengan deforestasi tertinggi pada tahun 2024, dengan kehilangan 44.483 hektare.28

Pendorong di Kalimantan lebih beragam, mencerminkan lapisan-lapisan eksploitasi sumber daya alam. Dimulai dengan pembalakan kayu skala besar, lanskap Kalimantan kemudian diubah oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. Kini, gelombang baru deforestasi didorong oleh perkebunan kayu pulp industri, pertambangan batu bara, dan program pelet kayu pemerintah.8 Pembangunan pabrik pulp baru di Kalimantan Utara diidentifikasi sebagai pendorong utama pembukaan lahan yang agresif di sekitarnya.8

Salah satu pendorong deforestasi terbaru dan paling kontroversial di Kalimantan adalah Proyek Food Estate nasional. Dicanangkan sebagai solusi untuk ketahanan pangan nasional, proyek ini, khususnya di Kalimantan Tengah, telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan dan konflik sosial. Pembukaan lahan hutan skala besar sering kali dilakukan tanpa perencanaan yang matang dan studi kelayakan yang memadai, mengakibatkan kegagalan panen, degradasi tanah, dan pemborosan sumber daya.29 Lebih buruk lagi, proyek ini sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan petani lokal, yang tidak dilibatkan secara memadai dalam proses perencanaan dan implementasi. Akibatnya, proyek ini memicu konflik agraria baru, di mana masyarakat kehilangan akses ke tanah yang menjadi sumber mata pencaharian mereka selama bertahun-tahun.29

Kalimantan adalah representasi dari kompleksitas krisis kehutanan di Indonesia, di mana ambisi pembangunan nasional (ketahanan pangan, energi) berbenturan langsung dengan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat. Wilayah ini menjadi hotbed konflik agraria, dengan banyak kasus tumpang tindih antara wilayah kelola masyarakat dan konsesi perusahaan yang tidak pernah terselesaikan.17

2.3. Papua: Benteng Terakhir dalam Kepungan

Tanah Papua, yang terdiri dari Provinsi Papua dan provinsi-provinsi pemekarannya, adalah rumah bagi hamparan hutan hujan utuh terbesar yang tersisa di Indonesia dan salah satu yang paling kaya keanekaragaman hayati di dunia.3 Selama bertahun-tahun, keterpencilan geografis melindunginya dari skala deforestasi yang terlihat di Sumatra dan Kalimantan. Namun, kini Papua telah menjadi garis depan baru (the new frontier) untuk eksploitasi sumber daya skala besar.32

Ancaman utama datang dari ekspansi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.33 Antara tahun 2011 dan 2019 saja, Provinsi Papua dan Papua Barat kehilangan lebih dari 435.000 hektare hutan.33 Investasi ini didorong oleh ideologi pembangunan yang telah lama memandang Papua sebagai wilayah kaya sumber daya yang "tertinggal" dan perlu "dimajukan", sebuah narasi yang sering kali meminggirkan dan mengabaikan hak serta aspirasi Masyarakat Adat Papua.32

Di Papua, deforestasi bukan sekadar isu lingkungan; ini adalah ancaman eksistensial bagi Masyarakat Adat. Hutan adalah pusat kehidupan mereka—sumber pangan (sagu, hewan buruan), apotek hidup (tanaman obat), dan inti dari identitas budaya dan spiritual mereka.34 Ketika hutan dihancurkan:

  • Sumber Pangan Hilang: Kebun sagu, yang merupakan makanan pokok, dihancurkan. Hewan buruan kehilangan habitatnya. Ini secara langsung mengancam ketahanan pangan masyarakat.33
  • Pengetahuan Tradisional Lenyap: Sebuah penelitian dari Universitas Cenderawasih mencatat bahwa lebih dari 50% pengetahuan etnobotani masyarakat adat terancam punah seiring hilangnya spesies tumbuhan obat akibat deforestasi.34 Ini adalah kehilangan budaya dan kearifan lokal yang tak tergantikan.35
  • Perampasan Tanah dan Pelanggaran HAM: Proses konversi lahan sering kali melibatkan perampasan tanah ulayat tanpa persetujuan yang bebas, didahulukan, dan diinformasikan (PADIATAPA/FPIC). Hal ini menyebabkan penggusuran, peminggiran, dan pelanggaran hak asasi manusia yang serius.32
2.4. Sulawesi dan Pulau-Pulau Lain: Jejak Industri Ekstraktif

Di Sulawesi, terutama di provinsi-provinsi seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan juga di Maluku Utara, pendorong utama deforestasi memiliki karakteristik yang berbeda. Di sini, industri pertambangan nikel yang sedang booming menjadi kekuatan dominan.8 Didorong oleh permintaan global untuk baterai kendaraan listrik, ekspansi tambang nikel terjadi dengan cepat dan sering kali dengan pengawasan lingkungan yang lemah.

Dampak dari pertambangan ini bersifat langsung dan parah. Operasi tambang tidak hanya membersihkan tutupan hutan secara langsung, tetapi juga menyebabkan:

  • Pencemaran Air dan Tanah: Limbah dan sedimen dari area tambang mengalir ke sungai dan sumber air, mencemarinya dengan logam berat dan membuatnya tidak layak untuk dikonsumsi atau digunakan untuk pertanian. Beberapa desa di Sulawesi dilaporkan mengalami krisis air bersih akibat aktivitas tambang.40
  • Kerusakan Lahan Pertanian: Aliran lumpur dan longsor dari lokasi tambang dapat merusak atau bahkan menimbun lahan-lahan pertanian produktif milik masyarakat, seperti kebun lada yang menjadi andalan ekonomi lokal.41
  • Perusakan Ekosistem Pesisir: Di beberapa lokasi, limbah tambang (tailing) dibuang ke laut, merusak ekosistem terumbu karang yang vital bagi perikanan dan keanekaragaman hayati laut.39

Dinamika regional ini menunjukkan adanya sebuah "siklus hidup" pendorong deforestasi. Sumatra berada pada tahap "matang", di mana ledakan awal industri telah meninggalkan warisan lahan terdegradasi dan konflik sosial yang mendarah daging. Kalimantan berada dalam fase "transisi", dengan berbagai pendorong baru yang tumpang tindih di atas masalah lama. Papua berada pada tahap "awal" yang paling kritis, di mana keputusan yang dibuat saat ini akan menentukan nasib benteng hutan terakhir Indonesia. Sementara itu, Sulawesi menunjukkan bagaimana satu industri ekstraktif yang spesifik dapat dengan cepat mendominasi dan menghancurkan lanskap ekologis dan sosial, menciptakan apa yang disebut sebagai "zona pengorbanan" (sacrifice zones) demi kepentingan ekonomi nasional dan global. Pendekatan pembangunan ini secara sistematis mengeksternalkan biaya lingkungan dan sosial yang sangat besar kepada wilayah dan komunitas yang paling rentan.


Peringkat

Provinsi

Total Kehilangan Tutupan Pohon (Mha, 2001-2024)

Pendorong Dominan

Dampak Sosial Utama

1

Riau

4,30

Perkebunan Kelapa Sawit & Pulpwood, Degradasi Gambut

Konflik Agraria, Krisis Asap, Ketergantungan Ekonomi Monokultur

2

Kalimantan Barat

4,21

Perkebunan Kelapa Sawit, Penebangan, Pertambangan

Konflik Agraria, Tumpang Tindih Lahan dengan Wilayah Adat

3

Kalimantan Tengah

3,86

Penebangan, Kelapa Sawit, Proyek Food Estate, Pertambangan

Konflik Agraria, Kegagalan Proyek Pangan, Bencana Ekologis

4

Sumatera Selatan

3,29

Perkebunan Kelapa Sawit & Pulpwood, Kebakaran Lahan Gambut

Krisis Asap, Konflik Lahan, Degradasi Gambut

5

Kalimantan Timur

3,13

Pertambangan Batu Bara, Kelapa Sawit, Penebangan, Ibu Kota Negara (IKN)

Transformasi Ekonomi, Tekanan pada Hutan Tersisa, Polusi

6

Jambi

2,05

Perkebunan Kelapa Sawit & Pulpwood

Konflik Lahan, Degradasi Lahan Gambut

7

Sumatera Utara

1,81

Perkebunan Kelapa Sawit, Perambahan Hutan

Konflik Manusia-Satwa, Ancaman terhadap Ekosistem Leuser

8

Papua

1,60

Ekspansi Kelapa Sawit, Penebangan, Pertambangan

Perampasan Tanah Adat, Ancaman Pangan & Budaya Lokal

9

Kalimantan Selatan

1,48

Pertambangan Batu Bara, Kelapa Sawit

Banjir Besar, Kerusakan Daerah Aliran Sungai

10

Sulawesi Tengah

1,17

Pertambangan Nikel, Perkebunan Kelapa Sawit

Krisis Air Bersih, Polusi Laut, Konflik Lahan

Sumber: Diolah dari GFW 1 dan analisis kualitatif dari berbagai sumber.8








Bab 3: Biaya Manusia: Analisis Sosio-Ekonomi Multi-Generasi

Di balik angka-angka deforestasi yang masif, terdapat kisah-kisah manusia yang hidupnya diubah secara drastis. Dampak dari kehilangan hutan dan konversi lahan bukanlah peristiwa sesaat, melainkan proses berjenjang yang konsekuensinya terasa dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Bab ini menganalisis biaya manusia dari krisis kehutanan, menelusuri bagaimana dampaknya merambat dari disrupsi langsung hingga ke kerentanan sistemik yang terwariskan antargenerasi.

3.1. Dampak Jangka Pendek: Penggusuran, Konflik, dan Bencana

Dampak yang paling segera dirasakan oleh masyarakat di sekitar hutan yang dikonversi adalah guncangan terhadap fondasi kehidupan mereka.

  • Disrupsi Mata Pencaharian: Bagi masyarakat yang bergantung pada hutan, deforestasi berarti kehilangan akses langsung terhadap sumber daya vital. Hutan yang tadinya menyediakan makanan, tanaman obat, bahan bangunan, dan pendapatan dari hasil hutan bukan kayu (HHBK), tiba-tiba lenyap.35 Di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, masyarakat lokal tergusur dari tanah leluhur dan kehilangan mata pencaharian akibat konversi hutan menjadi kebun sawit.43 Ini menciptakan guncangan ekonomi yang parah dan mendadak bagi rumah tangga yang paling rentan.
  • Eskalasi Konflik Agraria: Pembukaan lahan untuk konsesi besar sering kali dilakukan tanpa pengakuan atau konsultasi yang layak dengan masyarakat lokal yang telah mendiami dan mengelola tanah tersebut selama turun-temurun. Tumpang tindih antara izin konsesi yang dikeluarkan pemerintah dan wilayah kelola rakyat adalah pemicu utama konflik agraria yang sengit dan berkepanjangan.31 Konflik ini tidak hanya terjadi antara masyarakat dan perusahaan, tetapi juga seringkali melibatkan aparat negara, yang dapat berujung pada kriminalisasi warga yang mempertahankan tanah mereka. Wilayah seperti Kalimantan dan Sumatera menjadi arena dari ratusan konflik semacam ini yang tidak kunjung terselesaikan.23
  • Bencana Ekologis Akut: Deforestasi secara langsung mengubah hidrologi dan stabilitas lanskap, yang memicu bencana ekologis. Penebangan hutan di daerah hulu sungai dan lereng curam meningkatkan limpasan air permukaan, menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor yang lebih sering dan lebih parah di daerah hilir.44 Di Sumatera Selatan, alih fungsi lahan gambut yang luas telah memperburuk bencana ekologis tahunan.21 Selain itu, kebakaran hutan dan lahan yang disengaja untuk pembukaan lahan menghasilkan
    kabut asap beracun yang menyelimuti wilayah luas, menyebabkan penyakit pernapasan akut (ISPA) dan mengganggu aktivitas ekonomi dan sosial selama berminggu-minggu.45
3.2. Dampak Jangka Menengah: Restrukturisasi Ekonomi dan Erosi Sosial

Setelah guncangan awal, dampak deforestasi mulai meresap ke dalam struktur ekonomi dan tatanan sosial masyarakat, sering kali dengan cara yang merusak.

  • Transformasi Struktural Ekonomi Pedesaan: Lanskap ekonomi desa berubah secara fundamental. Ekonomi yang tadinya beragam dan berbasis subsisten, dengan jaring pengaman dari berbagai sumber daya alam, bergeser menjadi ekonomi upahan yang bergantung pada perkebunan monokultur.22 Sebagian masyarakat mungkin mendapatkan pendapatan tunai yang lebih tinggi sebagai buruh perkebunan. Namun, transformasi ini juga menciptakan ketergantungan yang tinggi pada satu komoditas dan kerentanan terhadap volatilitas harga pasar global, di mana masyarakat lokal tidak memiliki kendali.10
  • Meningkatnya Ketidaksetaraan dan Stratifikasi Sosial: Manfaat ekonomi dari konversi lahan skala besar jarang terdistribusi secara merata. Keuntungan cenderung terkonsentrasi di tangan elite lokal, investor luar, dan korporasi, sementara masyarakat lokal menanggung sebagian besar biaya sosial dan lingkungan.23 Hal ini memperlebar jurang ketidaksetaraan ekonomi di dalam komunitas dan menciptakan stratifikasi sosial baru antara mereka yang diuntungkan oleh ekonomi baru dan mereka yang terpinggirkan.
  • Erosi Institusi Sosial dan Adat: Masuknya model pengelolaan lahan berbasis korporasi dan negara sering kali menabrak dan melemahkan sistem tata kelola tradisional (adat) yang sudah ada. Aturan-aturan adat mengenai pengelolaan sumber daya, mekanisme penyelesaian sengketa, dan norma-norma sosial yang menjaga kohesi komunitas menjadi tidak relevan atau sengaja diabaikan.23 Di Papua, ideologi pembangunan dari luar yang memandang masyarakat lokal sebagai "tertinggal" secara aktif merusak institusi sosial mereka.32 Erosi ini melemahkan kemampuan masyarakat untuk mengelola urusan mereka sendiri dan menyelesaikan masalah secara kolektif.
3.3. Dampak Jangka Panjang: Kerugian Tak Terpulihkan dan Kerentanan Sistemik

Dalam horizon waktu yang lebih panjang, dampak deforestasi mengeras menjadi kerentanan struktural yang sulit untuk diubah dan kerugian yang tidak dapat dipulihkan.

  • Ancaman terhadap Ketahanan Pangan dan Air: Perusakan daerah aliran sungai (DAS), konversi lahan gambut penyimpan air, dan penggantian lanskap pangan yang beragam dengan perkebunan monokultur yang haus air menciptakan ancaman serius bagi ketahanan pangan dan air jangka panjang. Di Sulawesi, aktivitas pertambangan nikel telah mencemari dan mengurangi sumber air bersih bagi ribuan warga.40 Di Papua, konversi hutan sagu menjadi perkebunan kelapa sawit secara langsung menghancurkan fondasi sistem pangan adat yang telah berkelanjutan selama berabad-abad.33
  • Hilangnya Pengetahuan Ekologi Tradisional (TEK): Hutan adalah perpustakaan hidup. Ketika hutan lenyap, begitu pula pengetahuan antargenerasi tentang spesies lokal, siklus ekologis, teknik pertanian berkelanjutan, dan pengobatan tradisional yang tersimpan dalam benak para tetua adat.34 Hilangnya TEK ini bukan hanya kerugian budaya yang mendalam, tetapi juga hilangnya seperangkat kearifan yang sangat relevan untuk adaptasi perubahan iklim dan praktik konservasi di masa depan.34
  • Terperangkap dalam Kemiskinan Struktural: Dengan merampas aset produktif utama masyarakat (tanah dan hutan) dan menggantinya dengan pekerjaan upahan yang tidak menentu dan bergaji rendah, proses deforestasi dapat menjebak komunitas dalam lingkaran kemiskinan struktural.47 Mereka kehilangan kemandirian dan kemampuan untuk membangun jalur pembangunan alternatif. Data menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di desa-desa sekitar kawasan hutan secara signifikan lebih tinggi daripada rata-rata nasional 48, dan pertambangan di Sulawesi, meskipun mendatangkan investasi besar, tidak secara signifikan mengurangi tingkat kemiskinan provinsi.39
  • Kehilangan Keanekaragaman Hayati yang Ireversibel: Dampak paling permanen dari deforestasi adalah kepunahan spesies. Penghancuran habitat di pusat-pusat keanekaragaman hayati seperti Kalimantan dan Papua mendorong spesies endemik seperti orangutan, harimau, dan gajah ke ambang kepunahan.8 Kehilangan ini bersifat final dan merusak jaring-jaring kehidupan yang menopang fungsi ekosistem, termasuk layanan yang bermanfaat bagi manusia seperti penyerbukan, pengendalian hama, dan pemurnian air.

Dampak-dampak ini tidak terjadi secara terpisah, melainkan saling terkait dalam sebuah lingkaran setan kerentanan. Deforestasi menyebabkan kemiskinan dan penggusuran dalam jangka pendek. Kondisi ini, pada gilirannya, mengurangi kapasitas masyarakat untuk menolak perambahan lebih lanjut dan membuat mereka lebih bergantung pada industri ekstraktif sebagai satu-satunya sumber pekerjaan dalam jangka menengah. Ketergantungan ini kemudian memfasilitasi lebih banyak degradasi lingkungan, yang mengunci komunitas dalam kemiskinan dan kerusakan ekologis dalam jangka panjang. Memutus siklus ini memerlukan intervensi yang tidak hanya menghentikan deforestasi, tetapi juga memberdayakan masyarakat dengan mengamankan hak atas tanah dan menyediakan alternatif mata pencaharian yang berkelanjutan.


Wilayah

Dampak Jangka Pendek

Dampak Jangka Menengah

Dampak Jangka Panjang

Sumatra

Konflik agraria akibat ekspansi sawit/pulp 23; Bencana asap akut akibat kebakaran gambut.21

Ketergantungan pada ekonomi monokultur; Peningkatan ketidaksetaraan sosial 23; Erosi lembaga adat.

Degradasi lahan gambut (subsiden); Krisis air akibat drainase berlebihan 20; Kehilangan keanekaragaman hayati.

Kalimantan

Konflik lahan akibat tumpang tindih konsesi dan proyek Food Estate 29; Penggusuran masyarakat adat 30; Banjir dan longsor akibat kerusakan DAS.

Pergeseran dari ekonomi hutan ke buruh tambang/perkebunan; Fragmentasi sosial.

Polusi air dan tanah jangka panjang dari pertambangan; Hilangnya habitat orangutan dan spesies kunci 8; Kemiskinan struktural.47

Papua

Perampasan tanah ulayat tanpa persetujuan 32; Kehilangan akses langsung ke sumber pangan (sagu, buruan).33

Marginalisasi masyarakat adat; Perubahan sosial akibat masuknya pendatang 32; Pelemahan sistem sosial dan budaya adat.32

Ancaman permanen terhadap ketahanan pangan dan budaya; Hilangnya pengetahuan ekologi tradisional 34; Kepunahan spesies endemik.

Sulawesi

Krisis air bersih akibat pencemaran tambang nikel 40; Kerusakan lahan pertanian (kebun lada) akibat longsor.41

Ketergantungan pada industri tambang yang fluktuatif; Konflik sosial akibat dampak lingkungan.42

Kerusakan permanen ekosistem pesisir dan laut akibat pembuangan limbah tambang 39; Kontaminasi logam berat pada tanah dan air.



Bab 4: Evaluasi Kritis terhadap Tata Kelola dan Kebijakan Hutan

Upaya Indonesia untuk mengatasi deforestasi tidak dapat dinilai hanya dari laju kehilangan hutan, tetapi juga dari efektivitas kerangka kebijakan yang dirancang untuk mengendalikannya. Selama dekade terakhir, pemerintah telah meluncurkan beberapa kebijakan andalan yang bertujuan untuk memperbaiki tata kelola hutan. Namun, evaluasi kritis menunjukkan adanya kesenjangan yang lebar antara niat kebijakan dan implementasi di lapangan, yang sering kali diperparah oleh kontradiksi fundamental dalam agenda pembangunan nasional.

4.1. Moratorium Hutan: Perisai yang Bocor

Kebijakan moratorium, yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2011 dan dibuat permanen melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2019, merupakan salah satu pilar utama strategi anti-deforestasi Indonesia. Tujuannya adalah untuk memberikan "jeda" dengan menghentikan sementara penerbitan izin baru di kawasan hutan primer dan lahan gambut, guna memberi waktu untuk perbaikan tata kelola.50

Secara teori, kebijakan ini telah menunjukkan beberapa hasil positif. Analisis menunjukkan bahwa laju deforestasi di dalam area yang tercakup dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) cenderung lebih rendah dibandingkan area di luarnya.53 Namun, dalam praktiknya, moratorium ini berfungsi seperti perisai yang penuh lubang.

  • Celah dan Pengecualian: Kelemahan paling signifikan dari moratorium ini adalah cakupannya yang tidak komprehensif. Analisis dari Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan bahwa terdapat sekitar 1,39 juta hektare hutan alam primer yang masih belum terlindungi karena tidak dimasukkan ke dalam peta moratorium (PIPPIB).51 Selain itu, kebijakan ini memberikan pengecualian untuk proyek-proyek yang dianggap strategis secara nasional (PSN). Program Food Estate, misalnya, diizinkan untuk membuka kawasan hutan, termasuk hutan lindung, yang secara langsung bertentangan dengan semangat moratorium.51 Celah ini mengubah moratorium dari larangan mutlak menjadi alat yang fleksibel, yang dapat dikesampingkan ketika berbenturan dengan kepentingan ekonomi atau politik yang dianggap lebih prioritas.
  • Kurangnya Transparansi: Proses revisi PIPPIB, yang dilakukan setiap enam bulan, sangat tidak transparan. Sejak 2011, jutaan hektare lahan telah dikeluarkan dari peta moratorium tanpa justifikasi publik yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.51 Kurangnya transparansi ini menghalangi pengawasan publik dan menimbulkan kecurigaan bahwa revisi peta digunakan untuk mengakomodasi kepentingan investor tertentu, bukan berdasarkan data biofisik yang valid.
4.2. Perhutanan Sosial: Janji dan Potensi yang Belum Terpenuhi

Program Perhutanan Sosial (PS) adalah kebijakan ambisius yang bertujuan untuk mendemokratisasi pengelolaan hutan dengan memberikan hak kelola kepada masyarakat lokal. Dengan target alokasi seluas 12,7 juta hektar, program ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus mengurangi tekanan deforestasi dengan menjadikan masyarakat sebagai penjaga hutan.48

Di beberapa lokasi, program PS telah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Studi kasus menunjukkan bahwa di desa-desa di mana program ini diimplementasikan dengan baik, terjadi perbaikan mata pencaharian dan tren penurunan laju deforestasi lokal.50 Namun, secara nasional, kemajuan program ini sangat lambat dan menghadapi berbagai hambatan struktural.

  • Jangkauan Terbatas: Hingga Juni 2022, alokasi izin PS baru mencapai 4,9 juta hektar, atau kurang dari 40% dari target 12,7 juta hektare.48 Dengan laju saat ini, target yang ditetapkan untuk tahun 2024 hampir mustahil tercapai. Lambatnya progres ini menunjukkan adanya kendala birokrasi dan kurangnya kemauan politik untuk benar-benar mentransfer kontrol atas kawasan hutan kepada masyarakat.
  • Hambatan Struktural: Program PS sering kali tidak mampu menyelesaikan masalah mendasar, yaitu konflik tenurial. Banyak areal yang dialokasikan untuk PS tumpang tindih dengan konsesi perusahaan yang sudah ada atau dengan klaim wilayah adat yang belum diakui secara formal oleh negara.50 Selain itu, pemberian izin sering kali tidak diikuti dengan dukungan pasca-izin yang memadai, seperti pendampingan teknis, akses ke pasar, dan modal, yang sangat dibutuhkan masyarakat untuk mengembangkan usaha kehutanan yang berkelanjutan. Tanpa dukungan ini, izin kelola menjadi tidak bermakna secara ekonomi.
4.3. Komitmen Iklim vs. Realitas Pembangunan: Paradoks FOLU Net Sink 2030

Komitmen Indonesia untuk mencapai Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink pada tahun 2030 adalah janji iklim paling ambisius dari negara ini. Ini berarti pada tahun 2030, sektor kehutanan Indonesia diharapkan akan menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskannya, menjadi penyumbang utama bagi pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia di bawah Perjanjian Paris.11

Namun, komitmen yang mengesankan di atas kertas ini berbenturan langsung dengan realitas kebijakan pembangunan di lapangan. Terjadi sebuah kontradiksi fundamental antara tujuan iklim dan agenda ekonomi. Sementara KLHK menyusun rencana operasional untuk FOLU Net Sink, kementerian dan lembaga pemerintah lainnya secara aktif mempromosikan kebijakan yang mendorong deforestasi:

  • Proyek Strategis Nasional (PSN): Program seperti Food Estate dan pembangunan infrastruktur masif sering kali memprioritaskan pembukaan lahan di atas pertimbangan ekologis.54
  • Ekspansi Industri Ekstraktif: Pemerintah terus mendorong investasi di sektor pertambangan (nikel, batu bara) dan perkebunan, yang secara inheren membutuhkan konversi lahan hutan skala besar.8

Inkoherensi ini membuat target FOLU Net Sink menjadi sangat diragukan. Forest Watch Indonesia (FWI) bahkan menilai bahwa dengan laju deforestasi yang terus berlanjut, terutama yang difasilitasi oleh negara, target tersebut "mustahil tercapai".5 Ini menunjukkan kegagalan tata kelola yang paling mendasar: ketidakmampuan atau keengganan negara untuk menyelaraskan kebijakan-kebijakannya sendiri. Negara seolah-olah menginjak pedal gas dan rem secara bersamaan, di mana agenda konservasi dan iklim secara konsisten dikalahkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Sampai kontradiksi fundamental ini diselesaikan di tingkat tertinggi pemerintahan, kebijakan-kebijakan kehutanan yang baik akan terus menjadi macan kertas, tidak mampu membendung gelombang deforestasi yang didorong oleh sektor-sektor lain.



Bab 5: Rekomendasi untuk Aksi Preventif dan Mitigasi

Analisis komprehensif terhadap skala, pendorong, dampak, dan kegagalan kebijakan deforestasi di Indonesia menuntut adanya serangkaian tindakan korektif yang mendesak dan terstruktur. Solusi tidak dapat bersifat parsial; ia harus bersifat sistemik, menangani akar masalah di tingkat nasional sambil memberdayakan aksi yang efektif di tingkat lokal. Bab ini menyajikan rekomendasi konkret untuk aksi preventif dan mitigasi.

5.1. Intervensi Tingkat Nasional: Mereformasi Sistem

Perubahan yang langgeng hanya dapat terjadi jika ada reformasi fundamental pada kerangka kebijakan, hukum, dan kelembagaan di tingkat pusat.

  • Reformasi Kebijakan dan Hukum:
  1. Memperkuat dan Memperluas Moratorium Hutan: Kebijakan moratorium yang ada harus diperkuat secara signifikan. Ini berarti menutup semua celah hukum yang saat ini memungkinkan pengecualian untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti Food Estate. Cakupan moratorium juga harus diperluas dari sekadar hutan primer dan lahan gambut untuk mencakup semua sisa hutan alam, terutama yang memiliki nilai karbon dan keanekaragaman hayati tinggi, terlepas dari statusnya.51
  2. Mempercepat Pengakuan Hak Masyarakat Adat: Pemerintah harus beralih dari pengakuan seremonial ke implementasi program nasional yang robust dan terukur untuk memetakan, memverifikasi, dan melegalisasi Wilayah Adat. Pengakuan hak tenurial masyarakat adat harus menjadi prasyarat mutlak sebelum penerbitan izin baru berbasis lahan di atau dekat wilayah mereka. Ini adalah kunci untuk keadilan sosial dan konservasi yang efektif.32
  3. Mewajibkan Koherensi Kebijakan: Untuk mengatasi paradoks kebijakan yang ada, perlu dibentuk satuan tugas lintas-kementerian tingkat tinggi, idealnya di bawah kantor kepresidenan atau BAPPENAS. Satgas ini harus memiliki mandat yang kuat untuk meninjau, menyelaraskan, dan menyinkronkan semua rencana tata ruang, proyek infrastruktur, dan kebijakan investasi dengan komitmen iklim nasional, terutama target FOLU Net Sink 2030.
  • Penguatan Penegakan Hukum dan Akuntabilitas Korporasi:
  1. Mengalihkan Fokus Penegakan Hukum: Upaya penegakan hukum harus bergeser dari menindak pelaku ilegal skala kecil ke menargetkan aktor korporasi dan lembaga keuangan yang mendanai dan mendapat untung dari deforestasi skala besar, termasuk yang terjadi di dalam konsesi "legal". Ini harus mencakup audit komprehensif dan independen terhadap semua izin yang ada.57
  2. Mewajibkan Transparansi Rantai Pasok: Pemerintah harus memberlakukan peraturan yang mewajibkan ketertelusuran (traceability) penuh dalam rantai pasok komoditas berisiko tinggi seperti kelapa sawit, bubur kertas, dan nikel. Ini akan memastikan bahwa produk yang diekspor atau dijual di pasar domestik bebas dari deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia.10
  • Peningkatan Transparansi Data dan Partisipasi Publik:
  1. Membuka Akses Data Kehutanan: Semua data terkait tata guna lahan, termasuk peta konsesi (HGU, IUP, PBPH), rencana tata ruang, dan data mentah serta metodologi dibalik revisi peta moratorium (PIPPIB), harus dipublikasikan secara terbuka dan mudah diakses oleh publik. Transparansi ini adalah fondasi untuk pemantauan independen dan akuntabilitas pemerintah.51
5.2. Strategi Tingkat Regional dan Lokal: Membumikan Solusi

Intervensi nasional tidak akan efektif tanpa implementasi yang kuat dan kontekstual di tingkat daerah. Pemerintah daerah dan komunitas lokal harus diberdayakan untuk menjadi ujung tombak perlindungan hutan.

  • Perencanaan Tata Ruang Berbasis Ekosistem: Pemerintah provinsi dan kabupaten harus diberdayakan dan diwajibkan untuk menyusun dan menegakkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang benar-benar menghormati daya dukung dan daya tampung lingkungan. Perencanaan ini harus secara eksplisit melindungi ekosistem esensial seperti daerah aliran sungai, koridor satwa liar, dan kawasan karst, dengan sanksi yang tegas bagi pelanggaran.17
  • Pengembangan Ekonomi Lokal yang Berkelanjutan dan Non-Ekstraktif: Investasi publik harus dialihkan dari industri ekstraktif ke pengembangan ekonomi berbasis masyarakat yang bergantung pada hutan yang sehat. Ini termasuk memberikan dukungan teknis dan finansial untuk usaha seperti ekowisata, pengelolaan hasil hutan bukan kayu (HHBK) secara berkelanjutan, dan sistem agroforestri yang kompleks. Inisiatif-inisiatif ini dapat memberikan alternatif mata pencaharian yang lebih stabil dan bermartabat dibandingkan menjadi buruh perkebunan.50
  • Pembentukan Mekanisme Resolusi Konflik yang Adil dan Efektif: Mengingat ribuan konflik agraria yang belum terselesaikan, setiap provinsi harus membentuk lembaga mediasi multipihak yang independen, dapat diakses, dan imparsial. Lembaga ini bertugas untuk menengahi dan menyelesaikan sengketa lahan antara masyarakat, perusahaan, dan negara secara adil, mencegah eskalasi konflik menjadi kekerasan dan peminggiran lebih lanjut.31



Kesimpulan: Menempa Paradigma Baru untuk Hutan Indonesia

Analisis yang disajikan dalam laporan ini menegaskan bahwa Indonesia berada di persimpangan jalan yang menentukan. Selama lebih dari dua dekade, negara ini telah menempuh jalur pembangunan yang sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya hutan. Model ini, yang sering kali difasilitasi oleh kebijakan negara, telah menghasilkan keuntungan ekonomi bagi segelintir pihak namun dengan biaya ekologis dan sosial yang sangat besar dan ditanggung oleh seluruh bangsa, terutama oleh masyarakat yang paling rentan. Kerusakan yang terjadi—mulai dari hilangnya tutupan hutan seluas puluhan juta hektare, emisi karbon masif, hingga konflik sosial yang mendarah daging dan erosi budaya—menunjukkan bahwa model ini tidak berkelanjutan.

Melanjutkan lintasan pembangunan yang sama bukan lagi pilihan yang layak. Hal itu tidak hanya akan membuat komitmen iklim Indonesia, seperti FOLU Net Sink 2030, menjadi janji kosong, tetapi juga akan mengancam fondasi kemakmuran dan stabilitas jangka panjang bangsa. Degradasi ekosistem yang terus-menerus akan merusak ketahanan pangan dan air, memperburuk bencana alam, dan melanggengkan kemiskinan struktural di pedesaan.

Jalan alternatif menuntut adanya pergeseran paradigma yang fundamental. Ini adalah pergeseran dari memandang hutan sebagai komoditas yang dapat dilikuidasi untuk keuntungan jangka pendek, menjadi memandangnya sebagai aset fundamental yang menopang ketahanan ekologis, keadilan sosial, dan ekonomi berkelanjutan yang sejati. Hutan yang sehat adalah prasyarat untuk air bersih, udara bersih, iklim yang stabil, dan keanekaragaman hayati yang kaya—semua elemen yang esensial bagi kesejahteraan manusia.

Untuk menempuh jalan baru ini, diperlukan kemauan politik yang luar biasa. Pertama, dibutuhkan keberanian untuk menyelesaikan kontradiksi kebijakan yang selama ini melumpuhkan tata kelola hutan. Agenda pembangunan ekonomi harus diselaraskan, bukan dipertentangkan, dengan tujuan lingkungan dan sosial. Kedua, diperlukan komitmen tulus untuk memberdayakan komunitas lokal dan masyarakat adat sebagai pengelola utama lanskap mereka. Mengakui dan mengamankan hak-hak mereka atas tanah bukanlah sebuah konsesi, melainkan strategi paling efektif untuk konservasi hutan yang berkelanjutan. Terakhir, diperlukan keberanian untuk menuntut akuntabilitas dari kepentingan korporasi yang kuat, memastikan bahwa keuntungan tidak lagi dapat dibangun di atas perusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat.

Masa depan hutan Indonesia, dan nasib jutaan orang yang bergantung padanya, bergantung pada pilihan yang dibuat hari ini. Transformasi ini tidak akan mudah, tetapi ini adalah satu-satunya jalan menuju masa depan di mana pembangunan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan dapat berjalan beriringan.

Daftar Pustaka

  1. Indonesia Deforestation Rates & Statistics | GFW - Global Forest Watch, accessed August 7, 2025, https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN/?
  2. Indonesia Deforestation Rates & Statistics | GFW, accessed August 7, 2025, https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN/
  3. Indonesia Deforestation Rates & Statistics | GFW, accessed August 7, 2025, https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN/?lang=id
  4. KLHK Klaim Deforestasi Menurun 10 Tahun Terakhir - KBR.ID, accessed August 7, 2025, https://kbr.id/articles/indeks/klhk-klaim-deforestasi-menurun-10-tahun-terakhir
  5. FWI: Deforestasi Terjadi Massif dan Terencana - Mosaic Indonesia, accessed August 7, 2025, https://mosaic-indonesia.com/fwi-deforestasi-terjadi-massif-dan-terencana
  6. Menteri LHK Pamer Penurunan Deforestasi di Oslo Tropical Forest Forum, Sebut Analisis WRI, accessed August 7, 2025, https://forestinsights.id/menteri-lhk-pamer-penurunan-deforestasi-di-oslo-tropical-forest-forum-sebut-analisis-wri/
  7. Deforestasi, 1,9 Juta Hektare Hutan Indonesia Rusak Dalam 2 Tahun - Lestari, accessed August 7, 2025, https://lestari.kompas.com/read/2024/12/25/164109086/deforestasi-19-juta-hektare-hutan-indonesia-rusak-dalam-2-tahun
  8. Surge in legal land clearing pushes up Indonesia deforestation rate ..., accessed August 7, 2025, https://news.mongabay.com/2025/02/surge-in-legal-land-clearing-pushes-up-indonesia-deforestation-rate-in-2024/
  9. Persoalan Deforestasi di Indonesia: Sebuah Polemik Berkelanjutan, accessed August 7, 2025, https://fwi.or.id/persoalan-deforestasi-di-indonesia-sebuah-polemik/
  10. Buku Kecil Pendorong Besar Deforestasi | Global Canopy, accessed August 7, 2025, https://globalcanopy.org/wp-content/uploads/2020/12/LittleBookofBigDeforestationDrivers_ID.pdf
  11. FWI: Indonesia Gagal Hentikan Deforestasi - Dari Laut, accessed August 7, 2025, https://darilaut.id/berita/fwi-indonesia-gagal-hentikan-deforestasi
  12. Evaluasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca di Sektor Kehutanan Evaluasi Pelaksanaan BLT-Dana Desa di Masa Pandemi Covid-19 Perbaika - DPR RI, accessed August 7, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pa3kn/buletin-apbn/public-file/buletin-apbn-public-137.pdf
  13. Provinsi dengan Luas Kebakaran Hutan dan Lahan Terbesar 2024 - GoodStats, accessed August 7, 2025, https://goodstats.id/article/provinsi-dengan-luas-kebakaran-hutan-terbesar-2024-jliXO
  14. 40 Ribu Hektare Karhutla Diindikasi Terjadi di Indonesia selama Januari – April 2024, Terbesar di Kalimantan Timur, accessed August 7, 2025, https://madaniberkelanjutan.id/en/40-ribu-hektare-karhutla-diindikasi-terjadi-di-indonesia-selama-januari-april-2024-terbesar-di-kalimantan-timur/
  15. Harmonisasi Masyarakat Dan Pemerintah Untuk Mengatasi Deforestasi Di Selatan Tulungagung, accessed August 7, 2025, https://jurnaluniv45sby.ac.id/index.php/Dewantara/article/download/1029/899
  16. STATUS LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2022 - Kementerian ..., accessed August 7, 2025, https://www.menlhk.go.id/cadmin/uploads/SLHI_2022_upload_final_77f9948571.pdf
  17. 2059 JIRK Journal of Innovation Research and Knowledge Vol.4, No.4, September 2024, accessed August 7, 2025, https://bajangjournal.com/index.php/JIRK/article/download/8539/6680/16874
  18. Kementerian Kehutanan, accessed August 7, 2025, https://kehutanan.go.id/
  19. statistik - lingkungan hidup indonesia 2019 - UN Statistics Division, accessed August 7, 2025, https://unstats.un.org/unsd/envstats/Compendia/Indonesia_Statistik_Lingkungan_Hidup_2019.pdf
  20. Best Practices Pengelolaan Air Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut - Pertanian Press, accessed August 7, 2025, https://epublikasi.pertanian.go.id/berkala/jsl/article/download/3315/3354/4262
  21. Sumsel Dalam Kepungan Bencana Ekologis - Pantau Gambut, accessed August 7, 2025, https://pantaugambut.id/kabar/sumsel-dalam-kepungan-bencana-ekologis
  22. Dampak Ekonomi dan Lingkungan Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus: Desa Penyabungan, Kecamatan Merlung - IPB Journal, accessed August 7, 2025, https://journal.ipb.ac.id/index.php/JIPI/article/download/15688/12695/
  23. Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit : Persoalan Sosial, Ekonomi ..., accessed August 7, 2025, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmulingkungan/article/view/30824
  24. Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Potensi Konflik di Masyarakat Pelalawan Riau | Jurnal Kewarganegaraan - Journal UPY, accessed August 7, 2025, https://journal.upy.ac.id/index.php/pkn/article/view/5324
  25. Kelapa sawit dan keanekaragaman hayati - IUCN Portals, accessed August 7, 2025, https://portals.iucn.org/library/sites/library/files/documents/2018-027-Id.pdf
  26. PENGARUH TANAMAN KELAPA SAWIT TERHADAP KESEIMBANGAN AIR HUTAN (STUDI KASUS SUB DAS LANDAK, DAS KAPUAS) - Universitas Brawijaya, accessed August 7, 2025, https://jurnalpengairan.ub.ac.id/index.php/jtp/article/download/180/174
  27. Dampak Ekspansi Perkebunan Sawit Terhadap Kualitas dan Kuantitas Air Tanah - Jurnal Untan, accessed August 7, 2025, https://jurnal.untan.ac.id/index.php/perkebunan/article/download/90610/75676606239
  28. Status of deforestation in Indonesia 2024 - Simontini, accessed August 7, 2025, https://simontini.id/en/status-of-deforestation-in-indonesia-2024
  29. Jurnal Kajian Agraria dan Kedaulatan Pangan Analisis Implementasi Kebijakan “Food Estate” Dalam Upaya Perlindungan Keberlanj, accessed August 7, 2025, https://idjpcr.usu.ac.id/jkakp/article/download/14748/7554/61543
  30. (PDF) Analisis Implementasi Kebijakan “Food Estate” Dalam Upaya Perlindungan Keberlanjutan Lahan Pertanian Dan Ketahanan Pangan Di Provinsi Kalimantan Tengah - ResearchGate, accessed August 7, 2025, https://www.researchgate.net/publication/381903149_Analisis_Implementasi_Kebijakan_Food_Estate_Dalam_Upaya_Perlindungan_Keberlanjutan_Lahan_Pertanian_Dan_Ketahanan_Pangan_Di_Provinsi_Kalimantan_Tengah
  31. POTRET KETIMPANGAN RUANG KALIMANTAN - TanahKita, accessed August 7, 2025, https://tanahkita.id/docs/pp/Draft%20Final%20Layout%20Krisis%20Kalimantan.pdf
  32. deforestasi dari masa ke masa di tanah papua - Forest Watch Indonesia, accessed August 7, 2025, https://fwi.or.id/?smd_process_download=1&download_id=31773
  33. Alih Fungsi Hutan Papua untuk Sawit Ancam Sumber Pangan Masyarakat Adat, accessed August 7, 2025, https://www.voaindonesia.com/a/alih-fungsi-hutan-papua-untuk-sawit-ancam-sumber-pangan-masyarakat-adat-/6218497.html
  34. Dampak Kerusakan Lingkungan di Hutan Papua - Pikiran Rakyat, accessed August 7, 2025, https://www.pikiran-rakyat.com/kolom/pr-018456263/dampak-kerusakan-lingkungan-di-hutan-papua?page=all
  35. Hutan dan Masyarakat Adat Tanah Papua - Aliansi Jurnalis Independen, accessed August 7, 2025, https://aji.or.id/upload/article_doc/BUKU_HUTAN_DAN_MASYARAKAT_PAPUA_-_ISBN_compressed.pdf
  36. Indonesia: Masyarakat Adat Kehilangan Hutan Mereka - Human Rights Watch, accessed August 7, 2025, https://www.hrw.org/id/news/2019/09/22/333956
  37. Deforestasi dan Ancaman terhadap Eksistensi Budaya Masyarakat Adat, accessed August 7, 2025, https://greennetwork.id/unggulan/deforestasi-dan-ancaman-terhadap-eksistensi-budaya-masyarakat-adat/
  38. Ketika Perlindungan Masyarakat Adat Minim, Hutan Belum Ada buat Rakyat - Mongabay, accessed August 7, 2025, https://mongabay.co.id/2023/03/27/ketika-perlindungan-masyarakat-adat-minim-hutan-belum-ada-buat-rakyat/
  39. Perlawanan terhadap pertambangan di Sulawesi - Selamatkan Hutan Hujan, accessed August 7, 2025, https://www.hutanhujan.org/proyek/11909/perlawanan-terhadap-pertambangan-di-sulawesi
  40. Dampak Aktivitas Tambang Nikel, 5 Desa di Sulawesi Kesulitan Air Bersih - VOA Indonesia, accessed August 7, 2025, https://www.voaindonesia.com/a/dampak-aktivitas-tambang-nikel-5-desa-di-pulau-wawoni-i-kesulitan-air-bersih/7127108.html
  41. WALHI Sulsel Beberkan 3 Dampak Sosial-Lingkungan Tambang Nikel PT Vale Indonesia di Desa Asuli, Luwu Timur, accessed August 7, 2025, https://walhisulsel.or.id/3853-walhi-sulsel-beberkan-3-dampak-sosial-lingkungan-tambang-nikel-pt-vale-indonesia-di-desa-asuli-luwu-timur/
  42. DAMPAK KEBERADAAN PERTAMBANGAN NIKEL TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN, SOSIAL, EKONOMI (Studi Di Desa Muara Lapapao Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka) | Rahmayanti | Gemeinschaft - OJS UHO, accessed August 7, 2025, https://ojs.uho.ac.id/index.php/gemeinschaft/article/view/15535
  43. EKSPANSI PERKEBUNAN SAWIT: PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PEDESAAN DI DESA KANAMIT, KALIMANTAN TEN, accessed August 7, 2025, http://repository.stpn.ac.id/4437/1/MUHAMMAD%20IRFAN%20AFFANDI_20293608_1.pdf
  44. Forest Watch Indonesia temukan kerusakan hutan di tiga hulu sungai - ANTARA News, accessed August 7, 2025, https://www.antaranews.com/berita/4705617/forest-watch-indonesia-temukan-kerusakan-hutan-di-tiga-hulu-sungai
  45. Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia yang Berkelanjutan - Jurnal Syntax Admiration, accessed August 7, 2025, https://jurnalsyntaxadmiration.com/index.php/jurnal/article/download/1557/1949
  46. MENINJAU KASUS DEFORESTASI DI PULAU KALIMANTAN, accessed August 7, 2025, https://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/wacanateologika/article/download/1249/470/5271
  47. Peninjauan Bencana Alam akibat Deforestasi Hutan dan Tantangan Penegakkan Hukum mengenai Kebijakan Penebangan Hutan Berskala Besar di Indonesia, accessed August 7, 2025, https://journal.pubmedia.id/index.php/lawjustice/article/download/2740/2770/5077
  48. EVALUASI DAMPAK PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL TERHADAP PEMBANGUNAN DESA DI INDONESIA (STUDI KASUS PADA SKEMA HUTAN DESA) - ETD UGM, accessed August 7, 2025, https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/229070
  49. Dampak Deforestasi Terhadap Kita - Forest Digest, accessed August 7, 2025, https://www.forestdigest.com/detail/2709/dampak-negatif-deforestasi
  50. Penilaian Lingkungan dan Sosial - DJPb, accessed August 7, 2025, https://djpb.kemenkeu.go.id/portal/images/2020/05/20/penilaian-lingkungan-blu-bpdlh.pdf
  51. Memperkuat INPRES Moratorium Hutan untuk Mendukung ..., accessed August 7, 2025, https://madaniberkelanjutan.id/wp-content/uploads/2023/06/MADANI-Policy-Brief-Moratorium-Hutan.pdf
  52. Hutan dan Deforestasi Indonesia Tahun 2024 - Kementerian Kehutanan, accessed August 7, 2025, https://kehutanan.go.id/news/article-10
  53. Indonesia Telah Mengurangi Penggundulan Hutan, tetapi Masalah Masih Ada, accessed August 7, 2025, https://wri-indonesia.org/id/wawasan/indonesia-telah-mengurangi-penggundulan-hutan-tetapi-masalah-masih-ada
  54. Ekspansi Tanpa Refleksi: Kritik atas Kebijakan Pembukaan lahan 20 Juta Ha TEMUAN UTAMA - Yayasan Madani Berkelanjutan, accessed August 7, 2025, https://madaniberkelanjutan.id/wp-content/uploads/2025/05/MADANI-Insight-Ekspansi-Tanpa-Refleksi-Kritik-atas-Kebijakan-Pembukaan-lahan-20-Juta-Ha.pdf
  55. HUTAN DESA DAN DEFORESTASI DI INDONESIA, accessed August 7, 2025, https://wri-indonesia.org/sites/default/files/PN_Hutan%20Desa%20dan%20Deforestasi%20di%20Indonesia_0.pdf
  56. TINJAUAN LINGKUNGAN HIDUP 2023 - WALHI, accessed August 7, 2025, https://www.walhi.or.id/uploads/buku/TINJAUAN_LINGKUNGAN_HIDUP_2023_2.pdf
  57. Moratorium 25 Tahun Menghentikan Deforestasi dan Menyelesaikan Konflik - WALHI, accessed August 7, 2025, https://www.walhi.or.id/moratorium-25-tahun-menghentikan-deforestasi-dan-menyelesaikan-konflik
  58. Walhi: Hutan Bukan Komoditas, Tata Kelolanya Harus Adil secara Ekologis - Lestari, accessed August 7, 2025, https://lestari.kompas.com/read/2025/07/15/091600686/walhi-hutan-bukan-komoditas-tata-kelolanya-harus-adil-secara-ekologis?page=all
  59. Walhi Ungkap Sederet Konflik di Balik Penertiban Kawasan Hutan - Greeners.Co, accessed August 7, 2025, https://www.greeners.co/berita/walhi-ungkap-sederet-konflik-di-balik-penertiban-kawasan-hutan/
  60. Rilis Data: Deforestasi Indonesia 2023 - YouTube, accessed August 7, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=bz_nxXMTgeU
  61. Kerjasama Perserikatan Bangsa-Bangsa-Pemerintah Indonesia Untuk Mengatasi Deforestasi di Pulau Kalimantan: Systematic - E-Journal UNDIP, accessed August 7, 2025, https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jiip/article/download/24141/pdf_1
  62. Mengenal WALHI Adalah Organisasi Lingkungan Terbesar di Indonesia - Liputan6.com, accessed August 7, 2025, https://www.liputan6.com/feeds/read/5775521/mengenal-walhi-adalah-organisasi-lingkungan-terbesar-di-indonesia


Masuk untuk meninggalkan komentar