Dasbor Interaktif Unduh versi PDF Daftar Pustaka
Menerangi Pelosok Jawa Barat: Analisis Komprehensif Desa Belum Teraliri Listrik dan Peta Jalan Solusi Energi Terbarukan
Ringkasan Eksekutif
Laporan ini menyajikan analisis strategis dan mendalam mengenai kondisi elektrifikasi di Provinsi Jawa Barat, sebuah wilayah yang menghadapi "Paradoks Elektrifikasi". Meskipun data resmi menunjukkan Rasio Elektrifikasi (RE) telah mencapai 99,99% 1, analisis ini mengidentifikasi adanya kesenjangan signifikan pada tingkat granular. Data dari program pemerintah provinsi, seperti "Jabar Caang", mengindikasikan bahwa sekitar 121.871 rumah tangga yang tersebar di lebih dari 1.425 desa masih belum menikmati akses listrik yang layak.3 Kesenjangan ini terkonsentrasi di dusun-dusun atau kampung-kampung terpencil yang secara administratif berada di dalam desa yang telah berstatus "berlistrik".
Analisis ini mengidentifikasi dua tantangan utama yang saling terkait: pertama, Area Tanpa Akses (Nihil PLN), di mana dusun atau permukiman terpencil belum terhubung secara fisik ke jaringan PT PLN (Persero); dan kedua, Area Akses Kualitas Rendah, di mana sambungan listrik sudah ada namun sangat tidak andal, seringkali dengan durasi nyala di bawah 12 jam per hari atau mengalami penurunan tegangan (voltage drop) yang parah akibat kelemahan infrastruktur jaringan.6
Permasalahan ini tidak tersebar secara acak, melainkan terkonsentrasi secara geografis di sepanjang tulang punggung pegunungan selatan provinsi, terutama di wilayah kabupaten Garut, Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, dan Bandung Barat. Konsentrasi geografis ini memiliki korelasi yang kuat dengan status "Desa Tertinggal" berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.8
Sebagai respons terhadap tantangan ini, laporan ini mengusulkan pergeseran paradigma dari model elektrifikasi tunggal berbasis perluasan jaringan (grid extension) ke pendekatan teknologi "paling sesuai" (best-fit). Strategi ini menekankan pemanfaatan potensi sumber daya geografis dan alam yang unik di setiap wilayah, dengan tiga pilar utama:
- Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di lembah-lembah sungai dataran tinggi.
- Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Komunal untuk permukiman yang tersebar dan terpencil.
- Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di sentra-sentra agraris untuk menciptakan ekonomi sirkular.
Rekomendasi strategis yang diajukan berfokus pada reformasi tata kelola, investasi yang terarah, dan implementasi berbasis komunitas. Ini mencakup pembentukan platform "Satu Data Elektrifikasi Jabar" untuk penargetan bantuan yang akurat, kewajiban analisis tekno-ekonomi komparatif antara perluasan jaringan dan solusi off-grid, adopsi model kepemilikan berbasis komunitas (Koperasi/BUMDes) yang terinspirasi dari keberhasilan lembaga seperti IBEKA, serta investasi yang ditargetkan untuk modernisasi dan perkuatan jaringan di koridor selatan Jawa Barat.
I. Paradoks Elektrifikasi Jawa Barat: Cakupan Tinggi, Kesenjangan Persisten
1.1. Mendekonstruksi Angka Rasio Elektrifikasi 99,99%
Secara statistik, Provinsi Jawa Barat telah mencapai tonggak sejarah yang mengesankan dalam hal akses energi. Data resmi yang dirilis oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan PT PLN (Persero) secara konsisten melaporkan bahwa Rasio Elektrifikasi (RE) di wilayah ini telah mencapai 99,99% pada tahun 2024.1 Angka ini, di atas kertas, menempatkan Jawa Barat sebagai salah satu provinsi dengan tingkat elektrifikasi tertinggi di Indonesia, yang secara nasional menargetkan RE 100% pada tahun 2024.11 Capaian ini merupakan hasil dari program elektrifikasi perdesaan yang telah berjalan selama bertahun-tahun, termasuk program "Jabar Caang" yang merupakan kolaborasi antara pemerintah provinsi dan PLN sejak 2018.12
Namun, angka makro yang mendekati sempurna ini menyembunyikan sebuah realitas yang lebih kompleks di tingkat mikro, menciptakan apa yang dapat disebut sebagai "paradoks elektrifikasi". Tingkat cakupan yang sangat tinggi pada level provinsi secara tidak langsung menutupi adanya kantong-kantong kemiskinan energi yang persisten. Fenomena ini terjadi ketika metrik keberhasilan diukur pada level administratif desa atau kelurahan. Sebuah desa dapat diklasifikasikan sebagai "berlistrik" meskipun hanya pusat desa atau sebagian kecil dusunnya yang telah terjangkau oleh jaringan PLN, sementara puluhan atau bahkan ratusan keluarga di dusun-dusun yang lebih terpencil dan sulit dijangkau masih hidup dalam kegelapan. Hal ini menunjukkan bahwa metrik "Rasio Desa Berlistrik" (RDB) menjadi kurang relevan untuk provinsi dengan kepadatan penduduk dan pembangunan yang tinggi seperti Jawa Barat, di mana tantangan sesungguhnya bukan lagi pada level desa, melainkan pada level dusun dan rumah tangga.
1.2. Mengukur "Mil Terakhir": Realitas Rumah Tangga yang Belum Terlayani
Kontradiksi dari angka 99,99% menjadi nyata ketika dihadapkan pada skala program-program intervensi yang masih berjalan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), secara aktif menjalankan program "Jabar Caang 2025" yang secara eksplisit menargetkan 121.871 rumah tangga yang belum berlistrik.3 Target masif ini tersebar di 1.425 hingga 1.737 desa di 26 kabupaten/kota, yang menunjukkan pengakuan pemerintah akan adanya kesenjangan yang substansial di "mil terakhir" elektrifikasi.3
Angka ini memberikan gambaran kuantitatif yang lebih akurat mengenai skala masalah yang sebenarnya. Jika setiap rumah tangga diasumsikan memiliki rata-rata 4 anggota keluarga, maka lebih dari 480.000 jiwa di Jawa Barat masih belum mendapatkan hak dasar atas energi listrik. Data ini diperkuat oleh target-target spesifik yang terus diumumkan, seperti rencana untuk mengaliri listrik ke 3.403 rumah di 55 desa dan kelurahan pada tahun 2025.2 Keberadaan program-program ini dengan target yang begitu besar adalah bukti paling kuat bahwa pencapaian 100% pada tingkat rumah tangga masih menjadi pekerjaan rumah yang signifikan, meskipun statistik RE provinsi sudah mendekati angka sempurna.
1.3. Mendefinisikan Dua Tantangan Inti
Permasalahan elektrifikasi di Jawa Barat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama yang berbeda namun seringkali tumpang tindih, yaitu ketiadaan akses dan kualitas akses yang buruk.
1.3.1. Tanpa Akses (Tidak Terlayani)
Kategori ini merujuk pada dusun (kampung) atau kelompok permukiman yang sama sekali belum memiliki koneksi fisik ke jaringan listrik PLN. Mereka adalah "pulau-pulau" kegelapan di tengah lautan desa yang secara administratif telah "terang". Kasus-kasus seperti Kampung Tonjong di Kabupaten Bandung Barat, yang terisolasi di kawasan hutan dan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, adalah contoh nyata. Warga di sana hidup dengan kondisi infrastruktur yang minim, termasuk akses listrik yang hanya mengandalkan satu sambungan yang ditarik secara swadaya dan dibagi-bagi ke beberapa rumah.13 Demikian pula dengan Kampung Bhayangkara di Kabupaten Garut, di mana 20 kepala keluarga belum terjangkau PLN dan terpaksa bergantung pada panel surya swadaya yang terbatas kemampuannya.14 Kondisi geografis yang sulit, seperti topografi pegunungan terjal, lokasi yang terpencil di dalam kawasan hutan, dan akses jalan yang buruk, menjadi penghalang utama bagi perluasan jaringan konvensional ke wilayah-wilayah ini.
1.3.2. Akses Kualitas Rendah (Kurang Terlayani - <12 Jam/Tidak Stabil)
Kategori kedua mencakup wilayah yang secara teknis sudah terhubung ke jaringan PLN, namun kualitas pelayanannya sangat buruk. Kriteria "teraliri listrik di bawah 12 jam per hari" seringkali bukan disebabkan oleh kebijakan penjatahan energi (rationing), melainkan merupakan manifestasi dari kegagalan teknis pada infrastruktur jaringan yang rapuh dan terlalu panjang. Wilayah Cianjur Selatan menjadi contoh utama dari masalah ini. Laporan-laporan media secara konsisten menyoroti ketidakstabilan pasokan listrik, seringnya pemadaman, dan kualitas tegangan yang buruk di kecamatan-kecamatan seperti Tanggeung, Naringgul, dan Cidaun.6
Masalah ini memiliki dasar teknis yang kuat. Studi akademis yang dilakukan pada jaringan distribusi 20 kV di ULP Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, yang juga merupakan bagian dari koridor selatan, menemukan bahwa penurunan tegangan (voltage drop) di ujung jaringan mencapai 6,53% pada saat beban puncak.7 Angka ini melampaui standar yang ditetapkan oleh Standar PLN (SPLN) 72:1987, yaitu maksimal 5%.7 Penurunan tegangan yang signifikan ini secara langsung menyebabkan lampu menjadi redup, peralatan elektronik tidak berfungsi dengan baik atau bahkan rusak, dan pasokan listrik menjadi tidak andal. Dengan demikian, memperpanjang jaringan yang sudah lemah ini ke area yang lebih jauh hanya akan menyebarkan masalah, bukan menyelesaikannya. Hal ini membuka argumen kuat bahwa untuk lokasi-lokasi seperti ini, solusi energi terbarukan off-grid bukan lagi sekadar alternatif, melainkan bisa menjadi solusi yang menawarkan keandalan dan kualitas pasokan yang lebih superior dibandingkan jaringan yang ada.
II. Identifikasi Wilayah Kurang Terlayani dan Tidak Terlayani: Analisis Multi-Faktor
Untuk merumuskan strategi intervensi yang efektif, langkah pertama yang krusial adalah mengidentifikasi secara akurat lokasi-lokasi yang mengalami kemiskinan energi. Namun, proses ini dihadapkan pada tantangan ketersediaan data yang granular dan terpusat.
2.1. Tantangan Data: Kesenjangan Podes dan Kebutuhan akan Proksi
Tantangan utama dalam pemetaan ini adalah tidak adanya daftar resmi yang terpusat dan dapat diakses publik mengenai dusun atau kampung yang belum atau kurang teraliri listrik di Jawa Barat. Sumber data utama yang idealnya dapat menyediakan informasi ini adalah Survei Potensi Desa (Podes) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, BPS mengakui bahwa pendataan Podes sempat dihentikan selama tahun 2022 dan 2023 akibat adanya penyesuaian anggaran oleh Kementerian Keuangan.19 Kesenjangan data selama dua tahun ini menciptakan kekosongan informasi yang signifikan mengenai perkembangan infrastruktur dasar di tingkat desa, termasuk elektrifikasi. Meskipun BPS telah berkomitmen untuk kembali melaksanakan pendataan Podes pada tahun 2024, publikasi hasilnya baru dijadwalkan pada akhir Desember 2024.20 Oleh karena itu, diperlukan sebuah metodologi proksi yang andal untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah prioritas berdasarkan data yang tersedia saat ini.
2.2. Metodologi: Menggunakan Status "Desa Tertinggal" sebagai Proksi dengan Keakuratan Tinggi
Sebagai solusi atas kesenjangan data Podes, laporan ini menggunakan status "Desa Tertinggal" dan "Desa Sangat Tertinggal" dari Indeks Desa Membangun (IDM) sebagai proksi utama. IDM, yang dikembangkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, merupakan indeks komposit yang mengukur ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi desa. Salah satu indikator kunci dalam Dimensi Ketahanan Lingkungan (IKL) adalah "Akses Listrik", di mana skor desa akan rendah jika mayoritas keluarganya belum menggunakan listrik.22 Dengan demikian, terdapat korelasi yang sangat kuat dan logis antara status desa sebagai "tertinggal" dengan ketiadaan atau kualitas buruk infrastruktur dasar, termasuk listrik.
Data dari berbagai sumber dan tahun secara konsisten menunjukkan pola yang sama. Laporan Kementerian Pedesaan dan Daerah Tertinggal (sekarang Kemendes PDTT) dan analisis berita dari tahun 2019 hingga 2022 secara berulang menempatkan kabupaten-kabupaten berikut sebagai penyumbang desa tertinggal terbanyak di Jawa Barat:
- Kabupaten Garut: Secara konsisten menempati peringkat teratas dengan jumlah desa tertinggal terbanyak, mencapai 58 desa pada tahun 2019 dan 32 desa pada tahun 2020.8
- Kabupaten Sukabumi: Diidentifikasi sebagai salah satu dari dua kabupaten berstatus daerah tertinggal di Jawa Barat 23 dan memiliki jumlah UTP pertanian terbesar, yang seringkali berkorelasi dengan kondisi pedesaan.24
- Kabupaten Cianjur: Disebutkan memiliki 16 desa tertinggal pada tahun 2020 dan termasuk dalam tiga kabupaten dengan sisa desa tertinggal pada tahun 2022.8
- Kabupaten Tasikmalaya: Memiliki 23 desa tertinggal pada tahun 2020 dan 42 desa pada tahun 2019, menempatkannya di posisi tiga besar.8
- Kabupaten Bogor: Meskipun memiliki PAD tertinggi, kabupaten ini dilaporkan memiliki 32 hingga 45 desa tertinggal pada tahun 2019.9
Pola konsisten ini menjadikan status IDM sebagai proksi yang andal untuk memfokuskan analisis geografis dan alokasi sumber daya.
2.3. Profil Geografis: Tulang Punggung Pegunungan Selatan
Ketika data desa tertinggal dipetakan, sebuah pola geografis yang jelas muncul. Wilayah-wilayah dengan konsentrasi kemiskinan energi tertinggi membentuk sebuah sabuk atau koridor yang membentang di sepanjang tulang punggung pegunungan di bagian selatan Jawa Barat. Wilayah ini secara umum dicirikan oleh topografi yang terjal, aksesibilitas yang rendah, dan kepadatan penduduk yang lebih rendah dibandingkan koridor utara.
Validasi lapangan dari laporan media memperkuat profil geografis ini dengan memberikan gambaran nyata tentang kondisi di dusun-dusun terpencil:
- Kabupaten Bandung Barat: Kampung Tonjong di Desa Sindangjaya, Kecamatan Gununghalu, terletak di pelosok yang berbatasan dengan Cianjur. Akses menuju kampung ini hanya berupa jalan setapak tanah yang berbahaya saat hujan, tanpa penerangan jalan umum. Warga di sana hidup terisolasi dan hanya menikmati listrik secara terbatas dari satu kWh meter yang dibagi-bagi, dengan iuran bulanan yang relatif tinggi untuk kualitas penerangan yang minim.13 Lokasi ini juga tercatat dalam daftar desa tertinggal di wilayah Priangan.23
- Kabupaten Tasikmalaya: Sebuah laporan dari pelosok pegunungan Tasikmalaya menggambarkan sebuah kampung yang begitu terpencil sehingga "KWH-nya belum sampai ke sini". Warga hanya bisa menggunakan satu lampu untuk setiap rumah, menunjukkan keterbatasan daya yang ekstrem. Kondisi jalan yang masih berupa bebatuan dan tanah menjadi penghalang utama infrastruktur untuk masuk.26
- Kabupaten Cianjur: Di Kampung Cinungku, Cianjur Selatan, sebanyak 38 kepala keluarga mengeluhkan sulitnya akses listrik yang andal. Pasokan yang ada tidak cukup kuat untuk menyalakan mesin usaha seperti serut kayu atau pompa air, yang menghambat potensi ekonomi lokal. Warga memperkirakan butuh setidaknya 10 tiang listrik baru untuk mengatasi masalah ini, sebuah usulan yang telah diajukan sejak lama namun belum terealisasi.27
Kasus-kasus ini menegaskan bahwa masalah elektrifikasi di Jawa Barat bukanlah masalah yang tersebar merata. Ini adalah masalah yang sangat terkonsentrasi secara geografis, terikat pada tantangan topografi, dan berdampak langsung pada kualitas hidup dan peluang ekonomi masyarakat di koridor pegunungan selatan. Pemahaman ini memungkinkan pergeseran dari pendekatan programatik yang menyebar ke seluruh provinsi menjadi sebuah strategi pembangunan regional yang terfokus dan terintegrasi untuk "Koridor Selatan Jawa Barat".
III. Inisiatif Saat Ini dan Hambatan Sistemik: Evaluasi Program Provinsi dan Keterbatasan Jaringan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bekerja sama dengan PT PLN (Persero) dan pemangku kepentingan lainnya, telah meluncurkan berbagai inisiatif untuk mengatasi kesenjangan elektrifikasi. Namun, program-program ini menghadapi serangkaian hambatan sistemik, baik dari sisi administratif maupun teknis, yang membatasi efektivitas dan jangkauannya.
3.1. Program "Jabar Caang": Ambisi dan Realitas
Program "Jabar Caang" merupakan inisiatif unggulan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mencapai elektrifikasi 100% di seluruh wilayah. Program ini menunjukkan kesadaran dan komitmen tingkat tinggi dari pemerintah untuk mengatasi masalah "mil terakhir".
- Mekanisme Pendanaan: Program ini didanai melalui skema multi-sumber yang fleksibel. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi tulang punggung utama.28 Selain itu, pemerintah aktif menggandeng sektor swasta melalui mekanisme
Corporate Social Responsibility (CSR).4 PT PLN (Persero) juga berkontribusi secara signifikan melalui program donasi internal karyawan yang disebut "Light Up The Dream" (LUTD), yang telah berhasil menyambungkan ribuan rumah tangga prasejahtera.1 - Skala dan Target: Ambisi program ini tercermin dari targetnya yang besar, yaitu menjangkau 121.871 rumah tangga di 1.425 desa.4 Target ini didasarkan pada data hasil Inventarisasi Rumah Belum Berlistrik (IRBB) yang dilakukan pada akhir tahun 2023 dan 2024.3 Secara berkala, target yang lebih spesifik diumumkan, seperti rencana elektrifikasi 3.403 rumah di 55 desa pada tahun 2025, yang sebagian didanai oleh APBN.2
- Proses Implementasi: Pelaksanaan di lapangan melibatkan proses verifikasi calon penerima bantuan untuk memastikan ketepatan sasaran. Sebagai contoh, Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat melakukan verifikasi langsung ke 42 rumah tangga calon penerima bantuan listrik gratis di Desa Sukahaji, Kabupaten Garut, pada Agustus 2024.31 Proses ini bertujuan untuk memastikan bahwa bantuan benar-benar diterima oleh masyarakat miskin dan tidak mampu yang selama ini belum memiliki sambungan listrik sendiri.
3.2. Hambatan Sistemik dalam Penyaluran Program
Meskipun memiliki tujuan mulia dan target yang jelas, efektivitas program seperti "Jabar Caang" terhambat oleh beberapa masalah sistemik yang mengakar.
- Integritas dan Koordinasi Data: Hambatan paling fundamental yang disoroti oleh lembaga pengawas seperti Komisi IV DPRD Jawa Barat adalah data penerima manfaat yang tumpang tindih (tumpang tindih) dan tidak akurat.32 Permasalahan ini muncul karena adanya berbagai sumber pendataan yang tidak terintegrasi, mulai dari pemerintah pusat (Kementerian ESDM), pemerintah provinsi (Dinas ESDM), hingga program CSR dari berbagai perusahaan. Akibatnya, penyaluran bantuan menjadi tidak efisien, berisiko tidak tepat sasaran, dan membuka celah bagi ketidakadilan. Masalah ini bukan unik untuk program listrik, melainkan cerminan dari tantangan nasional yang lebih luas dalam pengelolaan bantuan sosial, di mana integrasi antara Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas.34
- Hambatan Geografis dan Logistik: Seperti yang telah diidentifikasi pada bagian sebelumnya, sebagian besar target program berada di daerah terpencil dengan aksesibilitas yang sangat terbatas. Kondisi geografis ini secara signifikan meningkatkan biaya dan kompleksitas logistik untuk pengangkutan material (tiang, kabel, trafo) dan mobilisasi tenaga kerja.37
- Keterjangkauan Biaya bagi Masyarakat Miskin: Meskipun program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) bertujuan untuk membebaskan biaya penyambungan, terkadang masih ada biaya-biaya lain yang timbul, seperti biaya instalasi di dalam rumah. Bagi keluarga termiskin, biaya ini tetap menjadi penghalang yang signifikan. Oleh karena itu, program BPBL menjadi krusial untuk memastikan bahwa hambatan finansial di tingkat rumah tangga dapat diatasi sepenuhnya.37
3.3. Kendala Teknis Jaringan di Koridor Selatan Jawa Barat
Selain hambatan administratif, kualitas dan keandalan listrik di Jawa Barat, khususnya di wilayah selatan, dibatasi oleh kendala teknis yang serius pada jaringan eksisting.
- Defisit Infrastruktur Tegangan Tinggi: Koridor selatan Jawa Barat secara historis kekurangan infrastruktur transmisi dan distribusi utama. Jaringan listrik di wilayah ini cenderung bersifat radial, panjang, dan jauh dari pusat-pusat pembangkitan utama. Untuk mengatasi defisit ini, PLN sedang dan akan membangun infrastruktur kritis baru. Salah satunya adalah Gardu Induk (GI) 150 kV Tanggeung di Cianjur Selatan, yang pembangunannya dilanjutkan untuk mengatasi ketidakstabilan pasokan di wilayah tersebut.6 Proyek serupa adalah pembangunan
Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 kV dan GI Jampang Kulon di Sukabumi Selatan, yang bertujuan untuk meningkatkan keandalan dan menginterkoneksikan sistem kelistrikan di Jawa Barat bagian selatan.39 Proyek-proyek ini adalah pengakuan implisit bahwa jaringan yang ada tidak lagi memadai untuk melayani beban yang ada, apalagi untuk diperluas. - Penurunan Tegangan dan Rugi-Rugi Jaringan: Konsekuensi langsung dari jaringan yang panjang dan radial adalah terjadinya penurunan tegangan (voltage drop) dan rugi-rugi daya (power losses) yang tinggi. Sebuah studi teknis yang memodelkan jaringan distribusi 20 kV di ULP Sukaraja, Sukabumi, menemukan bahwa tegangan di gardu ujung jaringan bisa turun hingga 18,794 kV, atau mengalami voltage drop sebesar 6,53% dari tegangan nominal 20 kV.7 Angka ini secara jelas melanggar standar SPLN yang memperbolehkan penurunan tegangan maksimal sebesar 5%. Penurunan tegangan inilah yang dirasakan oleh pelanggan sebagai listrik yang "tidak stabil", lampu yang redup, dan kinerja peralatan elektronik yang buruk. Pemeliharaan rutin yang dilakukan oleh tim PDKB (Pekerjaan Dalam Keadaan Bertegangan) di wilayah Garut Selatan, seperti di Pakenjeng dan Bungbulang, merupakan upaya untuk menjaga keandalan jaringan yang ada, namun tidak dapat menyelesaikan masalah fundamental terkait desain dan kapasitas jaringan itu sendiri.41
IV. Membuka Potensi Lokal: Penilaian Geografis dan Teknologi Sumber Energi Terbarukan
Strategi untuk mencapai elektrifikasi 100% yang berkualitas di Jawa Barat tidak dapat lagi hanya bergantung pada perluasan jaringan konvensional. Sebaliknya, pendekatan yang paling efektif adalah dengan memanfaatkan sumber daya energi terbarukan yang melimpah dan spesifik di setiap lokasi. Tantangan geografis yang menghambat perluasan jaringan justru merupakan aset utama yang memungkinkan pengembangan solusi energi terdesentralisasi.
4.1. Potensi Tenaga Air (PLTMH): Memanfaatkan Kekuatan Dataran Tinggi
Topografi pegunungan yang menjadi ciri khas koridor selatan Jawa Barat, dengan curah hujan yang tinggi dan banyaknya aliran sungai dengan gradien yang curam, menciptakan kondisi ideal untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH).
- Kesesuaian Geografis dan Potensi Terkonfirmasi:
- Kabupaten Garut: Wilayah ini, khususnya di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk Hulu, memiliki potensi hidrologi yang sangat besar.42 Potensi ini bukan hanya teoretis; sebuah studi kelayakan yang dilakukan oleh para peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (Pusair) dan BRIN di Desa Sukamaju, Kecamatan Talegong, Garut, telah mengkonfirmasi viabilitas teknis dan finansial untuk pembangunan PLTMH dengan kapasitas total 4,7 MW. Proyek tersebut diproyeksikan sangat layak dengan nilai Internal Rate of Return (IRR) mencapai 26,07%, jauh di atas ambang batas kelayakan investasi.45
- Kabupaten Sukabumi: Sebagai salah satu kabupaten dengan jumlah desa tertinggal dan usaha pertanian perorangan terbanyak, Sukabumi memiliki potensi PLTMH yang signifikan.23 Sebuah penelitian dari Universitas Indonesia secara spesifik telah melakukan pemetaan lokasi-lokasi potensial untuk PLTMH di Sukabumi, dengan mempertimbangkan faktor
stream power, jarak ke permukiman, dan karakteristik topografi.47 Di lapangan, beberapa proyek PLTMH skala kecil hingga menengah telah berhasil diimplementasikan oleh berbagai pihak, termasuk Bank Mandiri, kelompok pemuda 360 Energy, dan mahasiswa, menunjukkan bahwa teknologi ini dapat diadopsi di tingkat komunitas.48
- Model Implementasi Berbasis Komunitas: Keberhasilan implementasi PLTMH sangat bergantung pada model pengelolaannya. Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) telah menjadi pionir dalam mengembangkan model PLTMH berbasis komunitas yang berkelanjutan di Indonesia, termasuk di Jawa Barat. Proyek-proyek awal mereka di Dusun Palanggaran dan Cicemet, Sukabumi pada tahun 1997 menjadi bukti bahwa dengan pendekatan partisipatif, masyarakat lokal dapat memiliki dan mengelola pembangkit listrik mereka sendiri.51 Model IBEKA, yang menekankan kepemilikan oleh koperasi atau lembaga desa, memastikan adanya pendapatan untuk operasional, pemeliharaan, dan dana sosial, sehingga pembangkit dapat beroperasi dalam jangka panjang dan memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat.52
4.2. Potensi Energi Surya (PLTS): Menerangi Permukiman Tersebar
Energi surya menawarkan solusi yang fleksibel dan dapat diterapkan di hampir semua lokasi di Jawa Barat, mengingat Indonesia memiliki potensi radiasi matahari rata-rata yang tinggi dan stabil, sekitar 4,8 kWh/m²/hari.55
- Aplikasi Paling Sesuai:
- PLTS Komunal (Off-Grid): Untuk dusun atau kampung dengan pola permukiman yang tersebar dan sangat terpencil, membangun sebuah mikro-grid berbasis PLTS komunal seringkali lebih efisien dan ekonomis daripada menarik kabel jaringan ke setiap rumah. Sistem ini, yang terdiri dari susunan panel surya, baterai penyimpan energi, dan inverter, dapat menyediakan listrik 24 jam yang andal untuk satu komunitas.57 Teknologi ini sudah matang dan dapat menjadi sumber listrik utama bagi wilayah yang belum terjangkau PLN.
- Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJUTS): Aplikasi ini terbukti sangat efektif untuk meningkatkan keamanan, memperpanjang jam aktivitas ekonomi, dan meningkatkan kualitas hidup di perdesaan. Program bantuan ribuan unit PJUTS dari Kementerian ESDM yang telah dipasang di Kabupaten Garut adalah contoh keberhasilan implementasi yang dapat direplikasi di kabupaten lain.60
- Potensi Skala Besar dan Dukungan Kebijakan: Di tingkat provinsi, keberhasilan pembangunan PLTS Terapung Cirata berkapasitas 145 MWac menunjukkan adanya komitmen dan kapabilitas teknis untuk proyek surya skala besar.61 Proyek-proyek besar ini, meskipun tidak secara langsung melistriki desa terpencil, berperan penting dalam meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi Jawa-Bali dan menstabilkan jaringan secara keseluruhan.
4.3. Potensi Energi Biomassa (PLTBm): Ekonomi Sirkular di Wilayah Agraris
Sebagai lumbung padi nasional, Jawa Barat memiliki potensi energi biomassa yang sangat besar dari limbah pertanian, terutama sekam padi. Kabupaten-kabupaten agraris seperti Cianjur, Garut, dan Sukabumi adalah pusat dari potensi ini.24
- Estimasi Kuantitatif Potensi (Studi Kasus Ilustratif: Kabupaten Cianjur):
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu produsen padi utama di Jawa Barat.24 Untuk mengilustrasikan skala potensi, dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut:
- Produksi Gabah: Asumsikan produksi Gabah Kering Giling (GKG) tahunan di Cianjur secara konservatif adalah 500.000 ton.
- Produksi Sekam Padi: Rasio sekam terhadap GKG adalah sekitar 22% dari berat.65 Maka, potensi produksi sekam padi adalah
500.000 ton×0,22=110.000 ton per tahun. - Potensi Energi: Nilai kalori sekam padi adalah sekitar 14 MJ/kg.65 Total energi primer yang terkandung dalam limbah sekam ini adalah
110.000.000 kg×14 MJ/kg=1.540.000.000 MJ per tahun. - Konversi ke Energi Listrik: Dengan mengonversi ke kWh (1 kWh=3,6 MJ), potensi energi termal total adalah sekitar 427 GWh per tahun. Dengan menggunakan teknologi gasifikasi biomassa yang memiliki efisiensi konversi ke listrik sekitar 20-25% 67, potensi energi listrik yang dapat dibangkitkan adalah sekitar
85 hingga 107 GWh per tahun. Jumlah ini setara dengan daya yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berkapasitas 10-12 MW yang beroperasi secara terus-menerus.
- Model Implementasi: Potensi ini paling baik dimanfaatkan melalui model ekonomi sirkular di tingkat desa. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau Koperasi dapat berperan sebagai pengumpul sekam dari petani, mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) skala kecil, menjual listrik kembali ke masyarakat dan PLN, serta mengolah abu sisa pembakaran menjadi produk bernilai tambah seperti pupuk. Model ini tidak hanya menyediakan energi bersih, tetapi juga menciptakan lapangan kerja, memberikan pendapatan tambahan bagi petani, dan menyelesaikan masalah limbah pertanian.
V. Matriks Data Komprehensif: Status Elektrifikasi dan Potensi Energi Terbarukan di Desa-Desa Prioritas Jawa Barat
Bagian ini menyajikan output inti dari analisis, yaitu sebuah matriks data strategis yang dirancang sebagai alat bantu perencanaan bagi para pengambil keputusan. Tabel berikut mengintegrasikan data dari berbagai sumber untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai desa-desa atau dusun-dusun yang teridentifikasi sebagai wilayah tidak terlayani atau kurang terlayani listrik di Jawa Barat. Tabel ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga secara langsung menghubungkannya dengan tantangan spesifik dan potensi solusi energi terbarukan yang paling sesuai, berdasarkan analisis geografis dan sumber daya yang telah dipaparkan di bagian sebelumnya. Dengan demikian, tabel ini berfungsi sebagai peta jalan awal untuk investasi dan intervensi yang lebih terarah dan efektif.
Tabel 1: Matriks Strategis Desa Tidak/Kurang Teraliri Listrik dan Potensi Energi Terbarukan di Jawa Barat
Kabupaten | Kecamatan | Desa/Dusun | Status Elektrifikasi | Perkiraan Populasi/KK Terdampak | Status IDM (2019-2022) | Tantangan Geografis & Infrastruktur | Potensi Dominan Energi Terbarukan | Catatan & Sumber Data Pendukung |
Kab. Bandung Barat | Gununghalu | Kampung Tonjong, Desa Sindangjaya | Nihil PLN (listrik swadaya terbatas) | +/- 50 KK | Tertinggal | Terisolasi di kawasan hutan, akses jalan setapak tanah, berbatasan dengan Kab. Cianjur, jauh dari jaringan utama. | PLTMH (potensi aliran sungai di lembah), PLTS Komunal | Warga membayar iuran Rp 25.000/bulan untuk listrik swadaya yang hanya cukup untuk lampu redup. Belum pernah dikunjungi kepala daerah. 13 |
Kab. Cianjur | (Cianjur Selatan) | Kampung Cinungku | Kualitas Rendah (<12 Jam/Tidak Stabil) | 38 KK | Tertinggal | Topografi perbukitan terjal, jaringan listrik ujung yang lemah, membutuhkan penambahan tiang listrik. | Perkuatan Jaringan, PLTS Atap dengan baterai, PLTMH (jika ada sungai) | Listrik tidak kuat untuk menyalakan mesin usaha (serut kayu, pompa air), menghambat ekonomi lokal. Usulan penambahan 10 tiang listrik belum terealisasi. 8 |
Kab. Garut | Caringin | Kampung Bhayangkara, Desa Cimahi | Nihil PLN | 20 KK | Tertinggal | Lokasi desa sangat terpencil, belum terjangkau jaringan PLN sama sekali. | PLTS Komunal | Warga mengandalkan panel surya swadaya dengan kapasitas sangat terbatas, tidak maksimal saat cuaca mendung. 8 |
Kab. Garut | Talegong | Desa Sukamaju | Nihil PLN (di sebagian wilayah) | N/A | Tertinggal | Berada di Garut Selatan dengan topografi pegunungan dan potensi hidrologi tinggi dari DAS Cimanuk Hulu. | PLTMH | Studi kelayakan oleh BRIN & Pusair-PU menunjukkan potensi PLTMH 4.7 MW yang sangat layak secara finansial (IRR 26,07%). 45 |
Kab. Tasikmalaya | (Wilayah Pegunungan) | Kampung (tidak disebutkan nama) | Nihil PLN | Puluhan KK | Tertinggal | Terletak di pelosok gunung, akses jalan bebatuan dan tanah, KWH meter PLN belum mencapai lokasi. | PLTMH, PLTS Komunal | Warga hanya bisa menggunakan satu lampu per rumah. Kondisi jalan sangat sulit dilalui. 10 |
Kab. Sukabumi | Ciemas | Desa Tamanjaya | Kualitas Rendah (sebagian) | N/A | Berkembang | Wilayah pesisir selatan dengan potensi angin yang baik, namun jaringan masih perlu perkuatan. | PLTB (Bayu), PLTMH | Pemerintah telah melakukan studi untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dengan potensi hingga 1,5 MW. Terdapat banyak potensi mikrohidro. 47 |
Kab. Bogor | Leuwiliang | Desa Pabangbon | Nihil PLN (di sebagian dusun) | N/A | Tertinggal | Wilayah perbukitan dengan banyak dusun yang tersebar dan sulit dijangkau oleh infrastruktur jalan dan listrik. | PLTS Komunal, PLTMH | Termasuk dalam daftar 32 desa tertinggal di Kabupaten Bogor yang dirilis Kemendes PDTT, meskipun Bogor memiliki PAD tertinggi. 9 |
Kab. Cianjur | (Wilayah Agraris) | (Desa-desa sentra padi) | N/A (Fokus pada potensi) | Ribuan petani | Berkembang/Maju | Ketersediaan limbah pertanian (sekam padi) melimpah namun belum termanfaatkan sebagai sumber energi. | PLTBm (Biomassa) | Cianjur adalah produsen padi utama. Potensi sekam padi tahunan dapat menghasilkan energi listrik setara 10-12 MW secara kontinu, menciptakan model ekonomi sirkular. 24 |
Catatan: Data populasi/KK dan status elektrifikasi untuk beberapa entri bersifat representatif berdasarkan laporan kasus. Daftar desa tertinggal dari Kemendes PDTT mencakup puluhan desa lain di kabupaten-kabupaten tersebut yang menghadapi tantangan serupa. Tabel ini menyajikan sampel yang paling terdokumentasi dengan baik dalam materi riset yang tersedia.
VI. Rekomendasi Strategis untuk Mencapai Elektrifikasi Berkualitas 100%
Untuk mengatasi paradoks elektrifikasi dan memastikan seluruh masyarakat Jawa Barat menikmati akses energi yang andal dan terjangkau, diperlukan sebuah pendekatan strategis yang melampaui model bisnis seperti biasa. Rekomendasi berikut dirancang untuk mengatasi akar permasalahan dari sisi kebijakan, teknologi, implementasi, dan tata kelola.
6.1. Reformasi Kebijakan dan Tata Kelola Data
Rekomendasi 1: Membangun Platform "Satu Data Elektrifikasi Jabar"
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melalui Bappeda sebagai koordinator, harus memimpin pengembangan sebuah platform data tunggal, dinamis, dan berbasis geospasial untuk elektrifikasi. Platform ini bertujuan untuk mengeliminasi masalah data yang tumpang tindih dan tidak akurat yang selama ini menghambat efektivitas program bantuan.32 Platform ini harus mengintegrasikan dan memverifikasi silang data dari berbagai sumber, termasuk:
- BPS: Data Podes (Potensi Desa) yang akan datang, yang memberikan detail infrastruktur hingga tingkat dusun.19
- Dinas Sosial: Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk menargetkan rumah tangga miskin dan rentan.34
- Dinas ESDM: Data hasil Inventarisasi Rumah Belum Berlistrik (IRBB) dan data realisasi program "Jabar Caang".3
- PT PLN (Persero): Data teknis jaringan, lokasi pelanggan, dan rencana perluasan jaringan.
- Pelaporan Berbasis Komunitas: Mekanisme bagi pemerintah desa untuk melaporkan dan memverifikasi status elektrifikasi di dusun-dusun mereka.
Dengan adanya satu sumber kebenaran (single source of truth), alokasi APBD, dana CSR, dan bantuan pemerintah pusat dapat disalurkan secara tepat sasaran, transparan, dan akuntabel, sejalan dengan semangat Satu Data Indonesia.71
Rekomendasi 2: Mewajibkan Analisis Tekno-Ekonomi Komparatif
Untuk setiap usulan elektrifikasi di wilayah terpencil, pemerintah provinsi harus mewajibkan dilakukannya studi kelayakan yang transparan dan komparatif. Studi ini harus membandingkan Levelized Cost of Electricity (LCOE)—biaya energi terukur sepanjang umur proyek—antara opsi perluasan jaringan PLN dengan opsi pembangkit energi terbarukan off-grid yang paling potensial di lokasi tersebut (PLTMH, PLTS, dll.).73 Biaya perluasan jaringan ke daerah terpencil sangatlah tinggi, dan PMN sebesar Rp3 triliun yang diajukan PLN untuk tahun 2025 sebagian besar dialokasikan untuk tujuan ini.76 Analisis LCOE akan memastikan bahwa solusi yang dipilih adalah yang paling efisien secara ekonomi dalam jangka panjang, bukan sekadar pilihan default. Ini akan mencegah investasi pada perluasan jaringan yang lemah dan mahal jika solusi terdesentralisasi terbukti lebih murah dan andal.
6.2. Strategi Teknologi dan Investasi
Rekomendasi 3: Mengadopsi Pendekatan Teknologi "Paling Sesuai" (Best-Fit)
Kebijakan dan alokasi pendanaan harus bergeser dari fokus tunggal pada perluasan jaringan ke portofolio solusi yang beragam. Anggaran provinsi (APBD) dan dana CSR harus dialokasikan secara spesifik untuk mendukung proyek-proyek berdasarkan potensi yang teridentifikasi dalam matriks data (Bagian V):
- Dana khusus untuk PLTMH di dataran tinggi Garut, Sukabumi, Cianjur, dan Bandung Barat.
- Dana untuk PLTS Komunal di permukiman terpencil dan tersebar.
- Insentif untuk PLTBm di sentra-sentra pertanian untuk mendorong ekonomi sirkular.
Pemerintah daerah perlu secara proaktif mengadvokasi percepatan proyek-proyek EBT yang sudah masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, yang mencakup sejumlah proyek PLTM di Jawa Barat.77
Rekomendasi 4: Mengurangi Risiko Investasi Swasta dan Komunitas
Salah satu penghambat utama pengembangan EBT adalah biaya modal yang tinggi.74 Pemerintah Provinsi dapat memainkan peran kunci dalam mengurangi risiko investasi (de-risking) melalui beberapa instrumen:
- Menyediakan skema jaminan pinjaman melalui bank pembangunan daerah (misalnya, Bank BJB).
- Menyederhanakan proses perizinan untuk proyek EBT skala kecil (<1 MW) yang diinisiasi oleh komunitas.
- Menciptakan kemitraan publik-swasta-komunitas untuk berbagi biaya dan risiko.
6.3. Model Implementasi dan Tata Kelola
Rekomendasi 5: Memajukan Model Kepemilikan Komunitas
Keberlanjutan proyek EBT di perdesaan sangat bergantung pada rasa kepemilikan lokal. Pemerintah harus secara aktif mempromosikan dan memfasilitasi pembentukan Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai pemilik dan operator aset energi baru.79 Model ini, yang telah terbukti berhasil oleh lembaga seperti IBEKA di berbagai lokasi di Indonesia termasuk Jawa Barat, memastikan bahwa pendapatan dari penjualan listrik digunakan untuk biaya operasional, pemeliharaan, dan dana pembangunan desa.52 Peran pemerintah dan PLN dalam model ini adalah sebagai fasilitator, penyedia pelatihan teknis dan manajerial, serta pemberi modal awal (seed funding).
Rekomendasi 6: Mengintegrasikan Akses Energi dengan Pembangunan Desa
Untuk menciptakan sinergi yang kuat, program elektrifikasi harus diintegrasikan secara langsung dengan program pengentasan desa tertinggal. Pemerintah perlu membuat regulasi yang memungkinkan dan mendorong penggunaan sebagian Dana Desa sebagai modal investasi awal untuk proyek energi milik komunitas. Ini akan memberdayakan desa untuk mengatasi masalah energi mereka sendiri sambil mencapai tujuan pembangunan yang lebih luas, sejalan dengan semangat program Gerbang Desa.82
6.4. Modernisasi Jaringan dan Kualitas Layanan
Rekomendasi 7: Berinvestasi dalam Perkuatan Jaringan untuk Koridor Selatan
Bagi wilayah yang sudah terhubung ke jaringan namun menderita kualitas pasokan yang buruk, solusi yang tepat bukanlah memperpanjang jaringan yang sudah lemah. Prioritas investasi harus diberikan pada perkuatan dan modernisasi jaringan eksisting di koridor selatan. Ini mencakup:
- Mempercepat penyelesaian pembangunan gardu induk baru yang telah direncanakan, seperti GI Tanggeung di Cianjur dan GI Jampang Kulon di Sukabumi.6
- Membangun jaringan transmisi dan distribusi baru yang lebih andal untuk mengurangi panjang penyulang (feeder) dan mengatasi masalah penurunan tegangan.7
- Menerapkan teknologi jaringan cerdas (smart grid) untuk memonitor dan mengelola aliran daya secara lebih efisien.
Investasi ini akan meningkatkan kualitas layanan bagi pelanggan yang sudah ada dan menciptakan fondasi yang kuat untuk perluasan di masa depan, jika secara tekno-ekonomi terbukti layak.
Menerangi Pelosok Jawa Barat | EcoJustice.online
Menerangi Pelosok Jawa Barat: Analisis Komprehensif Desa Belum Teraliri Listrik dan Peta Jalan Solusi Energi Terbarukan
Ringkasan Eksekutif
Laporan ini menyajikan analisis strategis dan mendalam mengenai kondisi elektrifikasi di Provinsi Jawa Barat, sebuah wilayah yang menghadapi "Paradoks Elektrifikasi". Meskipun data resmi menunjukkan Rasio Elektrifikasi (RE) telah mencapai 99,99% 1, analisis ini mengidentifikasi adanya kesenjangan signifikan pada tingkat granular. Data dari program pemerintah provinsi, seperti "Jabar Caang", mengindikasikan bahwa sekitar 121.871 rumah tangga yang tersebar di lebih dari 1.425 desa masih belum menikmati akses listrik yang layak.3 Kesenjangan ini terkonsentrasi di dusun-dusun atau kampung-kampung terpencil yang secara administratif berada di dalam desa yang telah berstatus "berlistrik".
Analisis ini mengidentifikasi dua tantangan utama yang saling terkait: pertama, Area Tanpa Akses (Nihil PLN), di mana dusun atau permukiman terpencil belum terhubung secara fisik ke jaringan PT PLN (Persero); dan kedua, Area Akses Kualitas Rendah, di mana sambungan listrik sudah ada namun sangat tidak andal, seringkali dengan durasi nyala di bawah 12 jam per hari atau mengalami penurunan tegangan (voltage drop) yang parah akibat kelemahan infrastruktur jaringan.6
Permasalahan ini tidak tersebar secara acak, melainkan terkonsentrasi secara geografis di sepanjang tulang punggung pegunungan selatan provinsi, terutama di wilayah kabupaten Garut, Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, dan Bandung Barat. Konsentrasi geografis ini memiliki korelasi yang kuat dengan status "Desa Tertinggal" berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.8
Sebagai respons terhadap tantangan ini, laporan ini mengusulkan pergeseran paradigma dari model elektrifikasi tunggal berbasis perluasan jaringan (grid extension) ke pendekatan teknologi "paling sesuai" (best-fit). Strategi ini menekankan pemanfaatan potensi sumber daya geografis dan alam yang unik di setiap wilayah, dengan tiga pilar utama:
- Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di lembah-lembah sungai dataran tinggi.
- Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Komunal untuk permukiman yang tersebar dan terpencil.
- Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di sentra-sentra agraris untuk menciptakan ekonomi sirkular.
Rekomendasi strategis yang diajukan berfokus pada reformasi tata kelola, investasi yang terarah, dan implementasi berbasis komunitas. Ini mencakup pembentukan platform "Satu Data Elektrifikasi Jabar" untuk penargetan bantuan yang akurat, kewajiban analisis tekno-ekonomi komparatif antara perluasan jaringan dan solusi off-grid, adopsi model kepemilikan berbasis komunitas (Koperasi/BUMDes) yang terinspirasi dari keberhasilan lembaga seperti IBEKA, serta investasi yang ditargetkan untuk modernisasi dan perkuatan jaringan di koridor selatan Jawa Barat.
I. Paradoks Elektrifikasi Jawa Barat: Cakupan Tinggi, Kesenjangan Persisten
1.1. Mendekonstruksi Angka Rasio Elektrifikasi 99,99%
Secara statistik, Provinsi Jawa Barat telah mencapai tonggak sejarah yang mengesankan dalam hal akses energi. Data resmi yang dirilis oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan PT PLN (Persero) secara konsisten melaporkan bahwa Rasio Elektrifikasi (RE) di wilayah ini telah mencapai 99,99% pada tahun 2024.1 Angka ini, di atas kertas, menempatkan Jawa Barat sebagai salah satu provinsi dengan tingkat elektrifikasi tertinggi di Indonesia, yang secara nasional menargetkan RE 100% pada tahun 2024.11 Capaian ini merupakan hasil dari program elektrifikasi perdesaan yang telah berjalan selama bertahun-tahun, termasuk program "Jabar Caang" yang merupakan kolaborasi antara pemerintah provinsi dan PLN sejak 2018.12
Namun, angka makro yang mendekati sempurna ini menyembunyikan sebuah realitas yang lebih kompleks di tingkat mikro, menciptakan apa yang dapat disebut sebagai "paradoks elektrifikasi". Tingkat cakupan yang sangat tinggi pada level provinsi secara tidak langsung menutupi adanya kantong-kantong kemiskinan energi yang persisten. Fenomena ini terjadi ketika metrik keberhasilan diukur pada level administratif desa atau kelurahan. Sebuah desa dapat diklasifikasikan sebagai "berlistrik" meskipun hanya pusat desa atau sebagian kecil dusunnya yang telah terjangkau oleh jaringan PLN, sementara puluhan atau bahkan ratusan keluarga di dusun-dusun yang lebih terpencil dan sulit dijangkau masih hidup dalam kegelapan. Hal ini menunjukkan bahwa metrik "Rasio Desa Berlistrik" (RDB) menjadi kurang relevan untuk provinsi dengan kepadatan penduduk dan pembangunan yang tinggi seperti Jawa Barat, di mana tantangan sesungguhnya bukan lagi pada level desa, melainkan pada level dusun dan rumah tangga.
1.2. Mengukur "Mil Terakhir": Realitas Rumah Tangga yang Belum Terlayani
Kontradiksi dari angka 99,99% menjadi nyata ketika dihadapkan pada skala program-program intervensi yang masih berjalan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), secara aktif menjalankan program "Jabar Caang 2025" yang secara eksplisit menargetkan 121.871 rumah tangga yang belum berlistrik.3 Target masif ini tersebar di 1.425 hingga 1.737 desa di 26 kabupaten/kota, yang menunjukkan pengakuan pemerintah akan adanya kesenjangan yang substansial di "mil terakhir" elektrifikasi.3
Angka ini memberikan gambaran kuantitatif yang lebih akurat mengenai skala masalah yang sebenarnya. Jika setiap rumah tangga diasumsikan memiliki rata-rata 4 anggota keluarga, maka lebih dari 480.000 jiwa di Jawa Barat masih belum mendapatkan hak dasar atas energi listrik. Data ini diperkuat oleh target-target spesifik yang terus diumumkan, seperti rencana untuk mengaliri listrik ke 3.403 rumah di 55 desa dan kelurahan pada tahun 2025.2 Keberadaan program-program ini dengan target yang begitu besar adalah bukti paling kuat bahwa pencapaian 100% pada tingkat rumah tangga masih menjadi pekerjaan rumah yang signifikan, meskipun statistik RE provinsi sudah mendekati angka sempurna.
1.3. Mendefinisikan Dua Tantangan Inti
Permasalahan elektrifikasi di Jawa Barat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama yang berbeda namun seringkali tumpang tindih, yaitu ketiadaan akses dan kualitas akses yang buruk.
1.3.1. Tanpa Akses (Tidak Terlayani)
Kategori ini merujuk pada dusun (kampung) atau kelompok permukiman yang sama sekali belum memiliki koneksi fisik ke jaringan listrik PLN. Mereka adalah "pulau-pulau" kegelapan di tengah lautan desa yang secara administratif telah "terang". Kasus-kasus seperti Kampung Tonjong di Kabupaten Bandung Barat, yang terisolasi di kawasan hutan dan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, adalah contoh nyata. Warga di sana hidup dengan kondisi infrastruktur yang minim, termasuk akses listrik yang hanya mengandalkan satu sambungan yang ditarik secara swadaya dan dibagi-bagi ke beberapa rumah.13 Demikian pula dengan Kampung Bhayangkara di Kabupaten Garut, di mana 20 kepala keluarga belum terjangkau PLN dan terpaksa bergantung pada panel surya swadaya yang terbatas kemampuannya.14 Kondisi geografis yang sulit, seperti topografi pegunungan terjal, lokasi yang terpencil di dalam kawasan hutan, dan akses jalan yang buruk, menjadi penghalang utama bagi perluasan jaringan konvensional ke wilayah-wilayah ini.
1.3.2. Akses Kualitas Rendah (Kurang Terlayani - <12 Jam/Tidak Stabil)
Kategori kedua mencakup wilayah yang secara teknis sudah terhubung ke jaringan PLN, namun kualitas pelayanannya sangat buruk. Kriteria "teraliri listrik di bawah 12 jam per hari" seringkali bukan disebabkan oleh kebijakan penjatahan energi (rationing), melainkan merupakan manifestasi dari kegagalan teknis pada infrastruktur jaringan yang rapuh dan terlalu panjang. Wilayah Cianjur Selatan menjadi contoh utama dari masalah ini. Laporan-laporan media secara konsisten menyoroti ketidakstabilan pasokan listrik, seringnya pemadaman, dan kualitas tegangan yang buruk di kecamatan-kecamatan seperti Tanggeung, Naringgul, dan Cidaun.6
Masalah ini memiliki dasar teknis yang kuat. Studi akademis yang dilakukan pada jaringan distribusi 20 kV di ULP Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, yang juga merupakan bagian dari koridor selatan, menemukan bahwa penurunan tegangan (voltage drop) di ujung jaringan mencapai 6,53% pada saat beban puncak.7 Angka ini melampaui standar yang ditetapkan oleh Standar PLN (SPLN) 72:1987, yaitu maksimal 5%.7 Penurunan tegangan yang signifikan ini secara langsung menyebabkan lampu menjadi redup, peralatan elektronik tidak berfungsi dengan baik atau bahkan rusak, dan pasokan listrik menjadi tidak andal. Dengan demikian, memperpanjang jaringan yang sudah lemah ini ke area yang lebih jauh hanya akan menyebarkan masalah, bukan menyelesaikannya. Hal ini membuka argumen kuat bahwa untuk lokasi-lokasi seperti ini, solusi energi terbarukan off-grid bukan lagi sekadar alternatif, melainkan bisa menjadi solusi yang menawarkan keandalan dan kualitas pasokan yang lebih superior dibandingkan jaringan yang ada.
II. Identifikasi Wilayah Kurang Terlayani dan Tidak Terlayani: Analisis Multi-Faktor
Untuk merumuskan strategi intervensi yang efektif, langkah pertama yang krusial adalah mengidentifikasi secara akurat lokasi-lokasi yang mengalami kemiskinan energi. Namun, proses ini dihadapkan pada tantangan ketersediaan data yang granular dan terpusat.
2.1. Tantangan Data: Kesenjangan Podes dan Kebutuhan akan Proksi
Tantangan utama dalam pemetaan ini adalah tidak adanya daftar resmi yang terpusat dan dapat diakses publik mengenai dusun atau kampung yang belum atau kurang teraliri listrik di Jawa Barat. Sumber data utama yang idealnya dapat menyediakan informasi ini adalah Survei Potensi Desa (Podes) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, BPS mengakui bahwa pendataan Podes sempat dihentikan selama tahun 2022 dan 2023 akibat adanya penyesuaian anggaran oleh Kementerian Keuangan.19 Kesenjangan data selama dua tahun ini menciptakan kekosongan informasi yang signifikan mengenai perkembangan infrastruktur dasar di tingkat desa, termasuk elektrifikasi. Meskipun BPS telah berkomitmen untuk kembali melaksanakan pendataan Podes pada tahun 2024, publikasi hasilnya baru dijadwalkan pada akhir Desember 2024.20 Oleh karena itu, diperlukan sebuah metodologi proksi yang andal untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah prioritas berdasarkan data yang tersedia saat ini.
2.2. Metodologi: Menggunakan Status "Desa Tertinggal" sebagai Proksi dengan Keakuratan Tinggi
Sebagai solusi atas kesenjangan data Podes, laporan ini menggunakan status "Desa Tertinggal" dan "Desa Sangat Tertinggal" dari Indeks Desa Membangun (IDM) sebagai proksi utama. IDM, yang dikembangkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, merupakan indeks komposit yang mengukur ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi desa. Salah satu indikator kunci dalam Dimensi Ketahanan Lingkungan (IKL) adalah "Akses Listrik", di mana skor desa akan rendah jika mayoritas keluarganya belum menggunakan listrik.22 Dengan demikian, terdapat korelasi yang sangat kuat dan logis antara status desa sebagai "tertinggal" dengan ketiadaan atau kualitas buruk infrastruktur dasar, termasuk listrik.
Data dari berbagai sumber dan tahun secara konsisten menunjukkan pola yang sama. Laporan Kementerian Pedesaan dan Daerah Tertinggal (sekarang Kemendes PDTT) dan analisis berita dari tahun 2019 hingga 2022 secara berulang menempatkan kabupaten-kabupaten berikut sebagai penyumbang desa tertinggal terbanyak di Jawa Barat:
- Kabupaten Garut: Secara konsisten menempati peringkat teratas dengan jumlah desa tertinggal terbanyak, mencapai 58 desa pada tahun 2019 dan 32 desa pada tahun 2020.8
- Kabupaten Sukabumi: Diidentifikasi sebagai salah satu dari dua kabupaten berstatus daerah tertinggal di Jawa Barat 23 dan memiliki jumlah UTP pertanian terbesar, yang seringkali berkorelasi dengan kondisi pedesaan.24
- Kabupaten Cianjur: Disebutkan memiliki 16 desa tertinggal pada tahun 2020 dan termasuk dalam tiga kabupaten dengan sisa desa tertinggal pada tahun 2022.8
- Kabupaten Tasikmalaya: Memiliki 23 desa tertinggal pada tahun 2020 dan 42 desa pada tahun 2019, menempatkannya di posisi tiga besar.8
- Kabupaten Bogor: Meskipun memiliki PAD tertinggi, kabupaten ini dilaporkan memiliki 32 hingga 45 desa tertinggal pada tahun 2019.9
Pola konsisten ini menjadikan status IDM sebagai proksi yang andal untuk memfokuskan analisis geografis dan alokasi sumber daya.
2.3. Profil Geografis: Tulang Punggung Pegunungan Selatan
Ketika data desa tertinggal dipetakan, sebuah pola geografis yang jelas muncul. Wilayah-wilayah dengan konsentrasi kemiskinan energi tertinggi membentuk sebuah sabuk atau koridor yang membentang di sepanjang tulang punggung pegunungan di bagian selatan Jawa Barat. Wilayah ini secara umum dicirikan oleh topografi yang terjal, aksesibilitas yang rendah, dan kepadatan penduduk yang lebih rendah dibandingkan koridor utara.
Validasi lapangan dari laporan media memperkuat profil geografis ini dengan memberikan gambaran nyata tentang kondisi di dusun-dusun terpencil:
- Kabupaten Bandung Barat: Kampung Tonjong di Desa Sindangjaya, Kecamatan Gununghalu, terletak di pelosok yang berbatasan dengan Cianjur. Akses menuju kampung ini hanya berupa jalan setapak tanah yang berbahaya saat hujan, tanpa penerangan jalan umum. Warga di sana hidup terisolasi dan hanya menikmati listrik secara terbatas dari satu kWh meter yang dibagi-bagi, dengan iuran bulanan yang relatif tinggi untuk kualitas penerangan yang minim.13 Lokasi ini juga tercatat dalam daftar desa tertinggal di wilayah Priangan.23
- Kabupaten Tasikmalaya: Sebuah laporan dari pelosok pegunungan Tasikmalaya menggambarkan sebuah kampung yang begitu terpencil sehingga "KWH-nya belum sampai ke sini". Warga hanya bisa menggunakan satu lampu untuk setiap rumah, menunjukkan keterbatasan daya yang ekstrem. Kondisi jalan yang masih berupa bebatuan dan tanah menjadi penghalang utama infrastruktur untuk masuk.26
- Kabupaten Cianjur: Di Kampung Cinungku, Cianjur Selatan, sebanyak 38 kepala keluarga mengeluhkan sulitnya akses listrik yang andal. Pasokan yang ada tidak cukup kuat untuk menyalakan mesin usaha seperti serut kayu atau pompa air, yang menghambat potensi ekonomi lokal. Warga memperkirakan butuh setidaknya 10 tiang listrik baru untuk mengatasi masalah ini, sebuah usulan yang telah diajukan sejak lama namun belum terealisasi.27
Kasus-kasus ini menegaskan bahwa masalah elektrifikasi di Jawa Barat bukanlah masalah yang tersebar merata. Ini adalah masalah yang sangat terkonsentrasi secara geografis, terikat pada tantangan topografi, dan berdampak langsung pada kualitas hidup dan peluang ekonomi masyarakat di koridor pegunungan selatan. Pemahaman ini memungkinkan pergeseran dari pendekatan programatik yang menyebar ke seluruh provinsi menjadi sebuah strategi pembangunan regional yang terfokus dan terintegrasi untuk "Koridor Selatan Jawa Barat".
III. Inisiatif Saat Ini dan Hambatan Sistemik: Evaluasi Program Provinsi dan Keterbatasan Jaringan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bekerja sama dengan PT PLN (Persero) dan pemangku kepentingan lainnya, telah meluncurkan berbagai inisiatif untuk mengatasi kesenjangan elektrifikasi. Namun, program-program ini menghadapi serangkaian hambatan sistemik, baik dari sisi administratif maupun teknis, yang membatasi efektivitas dan jangkauannya.
3.1. Program "Jabar Caang": Ambisi dan Realitas
Program "Jabar Caang" merupakan inisiatif unggulan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mencapai elektrifikasi 100% di seluruh wilayah. Program ini menunjukkan kesadaran dan komitmen tingkat tinggi dari pemerintah untuk mengatasi masalah "mil terakhir".
- Mekanisme Pendanaan: Program ini didanai melalui skema multi-sumber yang fleksibel. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi tulang punggung utama.28 Selain itu, pemerintah aktif menggandeng sektor swasta melalui mekanisme
Corporate Social Responsibility (CSR).4 PT PLN (Persero) juga berkontribusi secara signifikan melalui program donasi internal karyawan yang disebut "Light Up The Dream" (LUTD), yang telah berhasil menyambungkan ribuan rumah tangga prasejahtera.1 - Skala dan Target: Ambisi program ini tercermin dari targetnya yang besar, yaitu menjangkau 121.871 rumah tangga di 1.425 desa.4 Target ini didasarkan pada data hasil Inventarisasi Rumah Belum Berlistrik (IRBB) yang dilakukan pada akhir tahun 2023 dan 2024.3 Secara berkala, target yang lebih spesifik diumumkan, seperti rencana elektrifikasi 3.403 rumah di 55 desa pada tahun 2025, yang sebagian didanai oleh APBN.2
- Proses Implementasi: Pelaksanaan di lapangan melibatkan proses verifikasi calon penerima bantuan untuk memastikan ketepatan sasaran. Sebagai contoh, Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat melakukan verifikasi langsung ke 42 rumah tangga calon penerima bantuan listrik gratis di Desa Sukahaji, Kabupaten Garut, pada Agustus 2024.31 Proses ini bertujuan untuk memastikan bahwa bantuan benar-benar diterima oleh masyarakat miskin dan tidak mampu yang selama ini belum memiliki sambungan listrik sendiri.
3.2. Hambatan Sistemik dalam Penyaluran Program
Meskipun memiliki tujuan mulia dan target yang jelas, efektivitas program seperti "Jabar Caang" terhambat oleh beberapa masalah sistemik yang mengakar.
- Integritas dan Koordinasi Data: Hambatan paling fundamental yang disoroti oleh lembaga pengawas seperti Komisi IV DPRD Jawa Barat adalah data penerima manfaat yang tumpang tindih (tumpang tindih) dan tidak akurat.32 Permasalahan ini muncul karena adanya berbagai sumber pendataan yang tidak terintegrasi, mulai dari pemerintah pusat (Kementerian ESDM), pemerintah provinsi (Dinas ESDM), hingga program CSR dari berbagai perusahaan. Akibatnya, penyaluran bantuan menjadi tidak efisien, berisiko tidak tepat sasaran, dan membuka celah bagi ketidakadilan. Masalah ini bukan unik untuk program listrik, melainkan cerminan dari tantangan nasional yang lebih luas dalam pengelolaan bantuan sosial, di mana integrasi antara Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas.34
- Hambatan Geografis dan Logistik: Seperti yang telah diidentifikasi pada bagian sebelumnya, sebagian besar target program berada di daerah terpencil dengan aksesibilitas yang sangat terbatas. Kondisi geografis ini secara signifikan meningkatkan biaya dan kompleksitas logistik untuk pengangkutan material (tiang, kabel, trafo) dan mobilisasi tenaga kerja.37
- Keterjangkauan Biaya bagi Masyarakat Miskin: Meskipun program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) bertujuan untuk membebaskan biaya penyambungan, terkadang masih ada biaya-biaya lain yang timbul, seperti biaya instalasi di dalam rumah. Bagi keluarga termiskin, biaya ini tetap menjadi penghalang yang signifikan. Oleh karena itu, program BPBL menjadi krusial untuk memastikan bahwa hambatan finansial di tingkat rumah tangga dapat diatasi sepenuhnya.37
3.3. Kendala Teknis Jaringan di Koridor Selatan Jawa Barat
Selain hambatan administratif, kualitas dan keandalan listrik di Jawa Barat, khususnya di wilayah selatan, dibatasi oleh kendala teknis yang serius pada jaringan eksisting.
- Defisit Infrastruktur Tegangan Tinggi: Koridor selatan Jawa Barat secara historis kekurangan infrastruktur transmisi dan distribusi utama. Jaringan listrik di wilayah ini cenderung bersifat radial, panjang, dan jauh dari pusat-pusat pembangkitan utama. Untuk mengatasi defisit ini, PLN sedang dan akan membangun infrastruktur kritis baru. Salah satunya adalah Gardu Induk (GI) 150 kV Tanggeung di Cianjur Selatan, yang pembangunannya dilanjutkan untuk mengatasi ketidakstabilan pasokan di wilayah tersebut.6 Proyek serupa adalah pembangunan
Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 kV dan GI Jampang Kulon di Sukabumi Selatan, yang bertujuan untuk meningkatkan keandalan dan menginterkoneksikan sistem kelistrikan di Jawa Barat bagian selatan.39 Proyek-proyek ini adalah pengakuan implisit bahwa jaringan yang ada tidak lagi memadai untuk melayani beban yang ada, apalagi untuk diperluas. - Penurunan Tegangan dan Rugi-Rugi Jaringan: Konsekuensi langsung dari jaringan yang panjang dan radial adalah terjadinya penurunan tegangan (voltage drop) dan rugi-rugi daya (power losses) yang tinggi. Sebuah studi teknis yang memodelkan jaringan distribusi 20 kV di ULP Sukaraja, Sukabumi, menemukan bahwa tegangan di gardu ujung jaringan bisa turun hingga 18,794 kV, atau mengalami voltage drop sebesar 6,53% dari tegangan nominal 20 kV.7 Angka ini secara jelas melanggar standar SPLN yang memperbolehkan penurunan tegangan maksimal sebesar 5%. Penurunan tegangan inilah yang dirasakan oleh pelanggan sebagai listrik yang "tidak stabil", lampu yang redup, dan kinerja peralatan elektronik yang buruk. Pemeliharaan rutin yang dilakukan oleh tim PDKB (Pekerjaan Dalam Keadaan Bertegangan) di wilayah Garut Selatan, seperti di Pakenjeng dan Bungbulang, merupakan upaya untuk menjaga keandalan jaringan yang ada, namun tidak dapat menyelesaikan masalah fundamental terkait desain dan kapasitas jaringan itu sendiri.41
IV. Membuka Potensi Lokal: Penilaian Geografis dan Teknologi Sumber Energi Terbarukan
Strategi untuk mencapai elektrifikasi 100% yang berkualitas di Jawa Barat tidak dapat lagi hanya bergantung pada perluasan jaringan konvensional. Sebaliknya, pendekatan yang paling efektif adalah dengan memanfaatkan sumber daya energi terbarukan yang melimpah dan spesifik di setiap lokasi. Tantangan geografis yang menghambat perluasan jaringan justru merupakan aset utama yang memungkinkan pengembangan solusi energi terdesentralisasi.
4.1. Potensi Tenaga Air (PLTMH): Memanfaatkan Kekuatan Dataran Tinggi
Topografi pegunungan yang menjadi ciri khas koridor selatan Jawa Barat, dengan curah hujan yang tinggi dan banyaknya aliran sungai dengan gradien yang curam, menciptakan kondisi ideal untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH).
- Kesesuaian Geografis dan Potensi Terkonfirmasi:
- Kabupaten Garut: Wilayah ini, khususnya di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk Hulu, memiliki potensi hidrologi yang sangat besar.42 Potensi ini bukan hanya teoretis; sebuah studi kelayakan yang dilakukan oleh para peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (Pusair) dan BRIN di Desa Sukamaju, Kecamatan Talegong, Garut, telah mengkonfirmasi viabilitas teknis dan finansial untuk pembangunan PLTMH dengan kapasitas total 4,7 MW. Proyek tersebut diproyeksikan sangat layak dengan nilai Internal Rate of Return (IRR) mencapai 26,07%, jauh di atas ambang batas kelayakan investasi.45
- Kabupaten Sukabumi: Sebagai salah satu kabupaten dengan jumlah desa tertinggal dan usaha pertanian perorangan terbanyak, Sukabumi memiliki potensi PLTMH yang signifikan.23 Sebuah penelitian dari Universitas Indonesia secara spesifik telah melakukan pemetaan lokasi-lokasi potensial untuk PLTMH di Sukabumi, dengan mempertimbangkan faktor
stream power, jarak ke permukiman, dan karakteristik topografi.47 Di lapangan, beberapa proyek PLTMH skala kecil hingga menengah telah berhasil diimplementasikan oleh berbagai pihak, termasuk Bank Mandiri, kelompok pemuda 360 Energy, dan mahasiswa, menunjukkan bahwa teknologi ini dapat diadopsi di tingkat komunitas.48
- Model Implementasi Berbasis Komunitas: Keberhasilan implementasi PLTMH sangat bergantung pada model pengelolaannya. Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) telah menjadi pionir dalam mengembangkan model PLTMH berbasis komunitas yang berkelanjutan di Indonesia, termasuk di Jawa Barat. Proyek-proyek awal mereka di Dusun Palanggaran dan Cicemet, Sukabumi pada tahun 1997 menjadi bukti bahwa dengan pendekatan partisipatif, masyarakat lokal dapat memiliki dan mengelola pembangkit listrik mereka sendiri.51 Model IBEKA, yang menekankan kepemilikan oleh koperasi atau lembaga desa, memastikan adanya pendapatan untuk operasional, pemeliharaan, dan dana sosial, sehingga pembangkit dapat beroperasi dalam jangka panjang dan memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat.52
4.2. Potensi Energi Surya (PLTS): Menerangi Permukiman Tersebar
Energi surya menawarkan solusi yang fleksibel dan dapat diterapkan di hampir semua lokasi di Jawa Barat, mengingat Indonesia memiliki potensi radiasi matahari rata-rata yang tinggi dan stabil, sekitar 4,8 kWh/m²/hari.55
- Aplikasi Paling Sesuai:
- PLTS Komunal (Off-Grid): Untuk dusun atau kampung dengan pola permukiman yang tersebar dan sangat terpencil, membangun sebuah mikro-grid berbasis PLTS komunal seringkali lebih efisien dan ekonomis daripada menarik kabel jaringan ke setiap rumah. Sistem ini, yang terdiri dari susunan panel surya, baterai penyimpan energi, dan inverter, dapat menyediakan listrik 24 jam yang andal untuk satu komunitas.57 Teknologi ini sudah matang dan dapat menjadi sumber listrik utama bagi wilayah yang belum terjangkau PLN.
- Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJUTS): Aplikasi ini terbukti sangat efektif untuk meningkatkan keamanan, memperpanjang jam aktivitas ekonomi, dan meningkatkan kualitas hidup di perdesaan. Program bantuan ribuan unit PJUTS dari Kementerian ESDM yang telah dipasang di Kabupaten Garut adalah contoh keberhasilan implementasi yang dapat direplikasi di kabupaten lain.60
- Potensi Skala Besar dan Dukungan Kebijakan: Di tingkat provinsi, keberhasilan pembangunan PLTS Terapung Cirata berkapasitas 145 MWac menunjukkan adanya komitmen dan kapabilitas teknis untuk proyek surya skala besar.61 Proyek-proyek besar ini, meskipun tidak secara langsung melistriki desa terpencil, berperan penting dalam meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi Jawa-Bali dan menstabilkan jaringan secara keseluruhan.
4.3. Potensi Energi Biomassa (PLTBm): Ekonomi Sirkular di Wilayah Agraris
Sebagai lumbung padi nasional, Jawa Barat memiliki potensi energi biomassa yang sangat besar dari limbah pertanian, terutama sekam padi. Kabupaten-kabupaten agraris seperti Cianjur, Garut, dan Sukabumi adalah pusat dari potensi ini.24
- Estimasi Kuantitatif Potensi (Studi Kasus Ilustratif: Kabupaten Cianjur):
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu produsen padi utama di Jawa Barat.24 Untuk mengilustrasikan skala potensi, dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut:
- Produksi Gabah: Asumsikan produksi Gabah Kering Giling (GKG) tahunan di Cianjur secara konservatif adalah 500.000 ton.
- Produksi Sekam Padi: Rasio sekam terhadap GKG adalah sekitar 22% dari berat.65 Maka, potensi produksi sekam padi adalah
500.000 ton×0,22=110.000 ton per tahun. - Potensi Energi: Nilai kalori sekam padi adalah sekitar 14 MJ/kg.65 Total energi primer yang terkandung dalam limbah sekam ini adalah
110.000.000 kg×14 MJ/kg=1.540.000.000 MJ per tahun. - Konversi ke Energi Listrik: Dengan mengonversi ke kWh (1 kWh=3,6 MJ), potensi energi termal total adalah sekitar 427 GWh per tahun. Dengan menggunakan teknologi gasifikasi biomassa yang memiliki efisiensi konversi ke listrik sekitar 20-25% 67, potensi energi listrik yang dapat dibangkitkan adalah sekitar
85 hingga 107 GWh per tahun. Jumlah ini setara dengan daya yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berkapasitas 10-12 MW yang beroperasi secara terus-menerus.
- Model Implementasi: Potensi ini paling baik dimanfaatkan melalui model ekonomi sirkular di tingkat desa. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau Koperasi dapat berperan sebagai pengumpul sekam dari petani, mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) skala kecil, menjual listrik kembali ke masyarakat dan PLN, serta mengolah abu sisa pembakaran menjadi produk bernilai tambah seperti pupuk. Model ini tidak hanya menyediakan energi bersih, tetapi juga menciptakan lapangan kerja, memberikan pendapatan tambahan bagi petani, dan menyelesaikan masalah limbah pertanian.
V. Matriks Data Komprehensif: Status Elektrifikasi dan Potensi Energi Terbarukan di Desa-Desa Prioritas Jawa Barat
Bagian ini menyajikan output inti dari analisis, yaitu sebuah matriks data strategis yang dirancang sebagai alat bantu perencanaan bagi para pengambil keputusan. Tabel berikut mengintegrasikan data dari berbagai sumber untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai desa-desa atau dusun-dusun yang teridentifikasi sebagai wilayah tidak terlayani atau kurang terlayani listrik di Jawa Barat. Tabel ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga secara langsung menghubungkannya dengan tantangan spesifik dan potensi solusi energi terbarukan yang paling sesuai, berdasarkan analisis geografis dan sumber daya yang telah dipaparkan di bagian sebelumnya. Dengan demikian, tabel ini berfungsi sebagai peta jalan awal untuk investasi dan intervensi yang lebih terarah dan efektif.
Tabel 1: Matriks Strategis Desa Tidak/Kurang Teraliri Listrik dan Potensi Energi Terbarukan di Jawa Barat
Kabupaten | Kecamatan | Desa/Dusun | Status Elektrifikasi | Perkiraan Populasi/KK Terdampak | Status IDM (2019-2022) | Tantangan Geografis & Infrastruktur | Potensi Dominan Energi Terbarukan | Catatan & Sumber Data Pendukung |
Kab. Bandung Barat | Gununghalu | Kampung Tonjong, Desa Sindangjaya | Nihil PLN (listrik swadaya terbatas) | +/- 50 KK | Tertinggal | Terisolasi di kawasan hutan, akses jalan setapak tanah, berbatasan dengan Kab. Cianjur, jauh dari jaringan utama. | PLTMH (potensi aliran sungai di lembah), PLTS Komunal | Warga membayar iuran Rp 25.000/bulan untuk listrik swadaya yang hanya cukup untuk lampu redup. Belum pernah dikunjungi kepala daerah. 13 |
Kab. Cianjur | (Cianjur Selatan) | Kampung Cinungku | Kualitas Rendah (<12 Jam/Tidak Stabil) | 38 KK | Tertinggal | Topografi perbukitan terjal, jaringan listrik ujung yang lemah, membutuhkan penambahan tiang listrik. | Perkuatan Jaringan, PLTS Atap dengan baterai, PLTMH (jika ada sungai) | Listrik tidak kuat untuk menyalakan mesin usaha (serut kayu, pompa air), menghambat ekonomi lokal. Usulan penambahan 10 tiang listrik belum terealisasi. 8 |
Kab. Garut | Caringin | Kampung Bhayangkara, Desa Cimahi | Nihil PLN | 20 KK | Tertinggal | Lokasi desa sangat terpencil, belum terjangkau jaringan PLN sama sekali. | PLTS Komunal | Warga mengandalkan panel surya swadaya dengan kapasitas sangat terbatas, tidak maksimal saat cuaca mendung. 8 |
Kab. Garut | Talegong | Desa Sukamaju | Nihil PLN (di sebagian wilayah) | N/A | Tertinggal | Berada di Garut Selatan dengan topografi pegunungan dan potensi hidrologi tinggi dari DAS Cimanuk Hulu. | PLTMH | Studi kelayakan oleh BRIN & Pusair-PU menunjukkan potensi PLTMH 4.7 MW yang sangat layak secara finansial (IRR 26,07%). 45 |
Kab. Tasikmalaya | (Wilayah Pegunungan) | Kampung (tidak disebutkan nama) | Nihil PLN | Puluhan KK | Tertinggal | Terletak di pelosok gunung, akses jalan bebatuan dan tanah, KWH meter PLN belum mencapai lokasi. | PLTMH, PLTS Komunal | Warga hanya bisa menggunakan satu lampu per rumah. Kondisi jalan sangat sulit dilalui. 10 |
Kab. Sukabumi | Ciemas | Desa Tamanjaya | Kualitas Rendah (sebagian) | N/A | Berkembang | Wilayah pesisir selatan dengan potensi angin yang baik, namun jaringan masih perlu perkuatan. | PLTB (Bayu), PLTMH | Pemerintah telah melakukan studi untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dengan potensi hingga 1,5 MW. Terdapat banyak potensi mikrohidro. 47 |
Kab. Bogor | Leuwiliang | Desa Pabangbon | Nihil PLN (di sebagian dusun) | N/A | Tertinggal | Wilayah perbukitan dengan banyak dusun yang tersebar dan sulit dijangkau oleh infrastruktur jalan dan listrik. | PLTS Komunal, PLTMH | Termasuk dalam daftar 32 desa tertinggal di Kabupaten Bogor yang dirilis Kemendes PDTT, meskipun Bogor memiliki PAD tertinggi. 9 |
Kab. Cianjur | (Wilayah Agraris) | (Desa-desa sentra padi) | N/A (Fokus pada potensi) | Ribuan petani | Berkembang/Maju | Ketersediaan limbah pertanian (sekam padi) melimpah namun belum termanfaatkan sebagai sumber energi. | PLTBm (Biomassa) | Cianjur adalah produsen padi utama. Potensi sekam padi tahunan dapat menghasilkan energi listrik setara 10-12 MW secara kontinu, menciptakan model ekonomi sirkular. 24 |
Catatan: Data populasi/KK dan status elektrifikasi untuk beberapa entri bersifat representatif berdasarkan laporan kasus. Daftar desa tertinggal dari Kemendes PDTT mencakup puluhan desa lain di kabupaten-kabupaten tersebut yang menghadapi tantangan serupa. Tabel ini menyajikan sampel yang paling terdokumentasi dengan baik dalam materi riset yang tersedia.
VI. Rekomendasi Strategis untuk Mencapai Elektrifikasi Berkualitas 100%
Untuk mengatasi paradoks elektrifikasi dan memastikan seluruh masyarakat Jawa Barat menikmati akses energi yang andal dan terjangkau, diperlukan sebuah pendekatan strategis yang melampaui model bisnis seperti biasa. Rekomendasi berikut dirancang untuk mengatasi akar permasalahan dari sisi kebijakan, teknologi, implementasi, dan tata kelola.
6.1. Reformasi Kebijakan dan Tata Kelola Data
Rekomendasi 1: Membangun Platform "Satu Data Elektrifikasi Jabar"
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melalui Bappeda sebagai koordinator, harus memimpin pengembangan sebuah platform data tunggal, dinamis, dan berbasis geospasial untuk elektrifikasi. Platform ini bertujuan untuk mengeliminasi masalah data yang tumpang tindih dan tidak akurat yang selama ini menghambat efektivitas program bantuan.32 Platform ini harus mengintegrasikan dan memverifikasi silang data dari berbagai sumber, termasuk:
- BPS: Data Podes (Potensi Desa) yang akan datang, yang memberikan detail infrastruktur hingga tingkat dusun.19
- Dinas Sosial: Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk menargetkan rumah tangga miskin dan rentan.34
- Dinas ESDM: Data hasil Inventarisasi Rumah Belum Berlistrik (IRBB) dan data realisasi program "Jabar Caang".3
- PT PLN (Persero): Data teknis jaringan, lokasi pelanggan, dan rencana perluasan jaringan.
- Pelaporan Berbasis Komunitas: Mekanisme bagi pemerintah desa untuk melaporkan dan memverifikasi status elektrifikasi di dusun-dusun mereka.
Dengan adanya satu sumber kebenaran (single source of truth), alokasi APBD, dana CSR, dan bantuan pemerintah pusat dapat disalurkan secara tepat sasaran, transparan, dan akuntabel, sejalan dengan semangat Satu Data Indonesia.71
Rekomendasi 2: Mewajibkan Analisis Tekno-Ekonomi Komparatif
Untuk setiap usulan elektrifikasi di wilayah terpencil, pemerintah provinsi harus mewajibkan dilakukannya studi kelayakan yang transparan dan komparatif. Studi ini harus membandingkan Levelized Cost of Electricity (LCOE)—biaya energi terukur sepanjang umur proyek—antara opsi perluasan jaringan PLN dengan opsi pembangkit energi terbarukan off-grid yang paling potensial di lokasi tersebut (PLTMH, PLTS, dll.).73 Biaya perluasan jaringan ke daerah terpencil sangatlah tinggi, dan PMN sebesar Rp3 triliun yang diajukan PLN untuk tahun 2025 sebagian besar dialokasikan untuk tujuan ini.76 Analisis LCOE akan memastikan bahwa solusi yang dipilih adalah yang paling efisien secara ekonomi dalam jangka panjang, bukan sekadar pilihan default. Ini akan mencegah investasi pada perluasan jaringan yang lemah dan mahal jika solusi terdesentralisasi terbukti lebih murah dan andal.
6.2. Strategi Teknologi dan Investasi
Rekomendasi 3: Mengadopsi Pendekatan Teknologi "Paling Sesuai" (Best-Fit)
Kebijakan dan alokasi pendanaan harus bergeser dari fokus tunggal pada perluasan jaringan ke portofolio solusi yang beragam. Anggaran provinsi (APBD) dan dana CSR harus dialokasikan secara spesifik untuk mendukung proyek-proyek berdasarkan potensi yang teridentifikasi dalam matriks data (Bagian V):
- Dana khusus untuk PLTMH di dataran tinggi Garut, Sukabumi, Cianjur, dan Bandung Barat.
- Dana untuk PLTS Komunal di permukiman terpencil dan tersebar.
- Insentif untuk PLTBm di sentra-sentra pertanian untuk mendorong ekonomi sirkular.
Pemerintah daerah perlu secara proaktif mengadvokasi percepatan proyek-proyek EBT yang sudah masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, yang mencakup sejumlah proyek PLTM di Jawa Barat.77
Rekomendasi 4: Mengurangi Risiko Investasi Swasta dan Komunitas
Salah satu penghambat utama pengembangan EBT adalah biaya modal yang tinggi.74 Pemerintah Provinsi dapat memainkan peran kunci dalam mengurangi risiko investasi (de-risking) melalui beberapa instrumen:
- Menyediakan skema jaminan pinjaman melalui bank pembangunan daerah (misalnya, Bank BJB).
- Menyederhanakan proses perizinan untuk proyek EBT skala kecil (<1 MW) yang diinisiasi oleh komunitas.
- Menciptakan kemitraan publik-swasta-komunitas untuk berbagi biaya dan risiko.
6.3. Model Implementasi dan Tata Kelola
Rekomendasi 5: Memajukan Model Kepemilikan Komunitas
Keberlanjutan proyek EBT di perdesaan sangat bergantung pada rasa kepemilikan lokal. Pemerintah harus secara aktif mempromosikan dan memfasilitasi pembentukan Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai pemilik dan operator aset energi baru.79 Model ini, yang telah terbukti berhasil oleh lembaga seperti IBEKA di berbagai lokasi di Indonesia termasuk Jawa Barat, memastikan bahwa pendapatan dari penjualan listrik digunakan untuk biaya operasional, pemeliharaan, dan dana pembangunan desa.52 Peran pemerintah dan PLN dalam model ini adalah sebagai fasilitator, penyedia pelatihan teknis dan manajerial, serta pemberi modal awal (seed funding).
Rekomendasi 6: Mengintegrasikan Akses Energi dengan Pembangunan Desa
Untuk menciptakan sinergi yang kuat, program elektrifikasi harus diintegrasikan secara langsung dengan program pengentasan desa tertinggal. Pemerintah perlu membuat regulasi yang memungkinkan dan mendorong penggunaan sebagian Dana Desa sebagai modal investasi awal untuk proyek energi milik komunitas. Ini akan memberdayakan desa untuk mengatasi masalah energi mereka sendiri sambil mencapai tujuan pembangunan yang lebih luas, sejalan dengan semangat program Gerbang Desa.82
6.4. Modernisasi Jaringan dan Kualitas Layanan
Rekomendasi 7: Berinvestasi dalam Perkuatan Jaringan untuk Koridor Selatan
Bagi wilayah yang sudah terhubung ke jaringan namun menderita kualitas pasokan yang buruk, solusi yang tepat bukanlah memperpanjang jaringan yang sudah lemah. Prioritas investasi harus diberikan pada perkuatan dan modernisasi jaringan eksisting di koridor selatan. Ini mencakup:
- Mempercepat penyelesaian pembangunan gardu induk baru yang telah direncanakan, seperti GI Tanggeung di Cianjur dan GI Jampang Kulon di Sukabumi.6
- Membangun jaringan transmisi dan distribusi baru yang lebih andal untuk mengurangi panjang penyulang (feeder) dan mengatasi masalah penurunan tegangan.7
- Menerapkan teknologi jaringan cerdas (smart grid) untuk memonitor dan mengelola aliran daya secara lebih efisien.
Investasi ini akan meningkatkan kualitas layanan bagi pelanggan yang sudah ada dan menciptakan fondasi yang kuat untuk perluasan di masa depan, jika secara tekno-ekonomi terbukti layak.
Menerangi Pelosok Jawa Barat | EcoJustice.online
Analisis Komprehensif Desa Belum Teraliri Listrik dan Peta Jalan Solusi Energi Terbarukan di Jawa Barat