Analisa Rencana Strategis 2025-2030: 

Sinode Am Gereja Protestan di Indonesia 

Analisa Rencana Strategis 2025-2030: 

Sinode Am Gereja Protestan di Indonesia 

Analisa Rencana Strategis 2025-2030: Sinode Am Gereja Protestan di Indonesia

Ketahanan Sosial Gereja di Era Disrupsi: Menyelaraskan Nilai Kebenaran dan Respons Adaptif

Bagian I: Latar Belakang Eklesiologis dan Kontekstual: Relevansi GPI Hari Ini

Bagian ini menyajikan analisis mendalam mengenai posisi Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dalam lanskap keagamaan dan kebangsaan saat ini. Analisis ini bertumpu pada tiga pilar fundamental: warisan historisnya sebagai Indische Kerk, dinamika internal antara keesaan dan kemandirian, serta posisinya dalam konstelasi oikoumene nasional. Pemahaman yang jernih atas ketiga pilar ini merupakan fondasi esensial untuk merumuskan strategi masa depan yang relevan dan berdampak.

1.1. Warisan Indische Kerk: Dari Gereja Negara ke Persekutuan Gereja-Gereja Mandiri

Untuk memahami Gereja Protestan di Indonesia (GPI) hari ini, penelusuran jejak historisnya merupakan sebuah keharusan. Akar GPI tertanam jauh dalam sejarah kolonialisme di Nusantara, bermula dari ibadah perdana yang diselenggarakan oleh kongsi dagang Belanda, VOC, pada 27 Februari 1605 di Benteng Victoria, Ambon.1 Ibadah ini, yang awalnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rohani para karyawan Eropa, menjadi cikal bakal dari institusi yang kelak dikenal sebagai de Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indië, atau yang lebih populer disebut Indische Kerk.1 Seiring dengan pemindahan pusat kekuasaan Gubernur Jenderal ke Batavia pada tahun 1619, kantor pusat Indische Kerk pun turut berpindah, menandai era baru dalam pelembagaan gereja Protestan di Hindia Belanda.1

Karakter fundamental Indische Kerk selama berabad-abad dibentuk oleh statusnya sebagai "gereja negara" (staatskerk). Relasi ini lebih dari sekadar dukungan finansial; ia membentuk DNA organisasi, struktur kekuasaan, dan bahkan mentalitas pelayanannya. Sebagai gereja negara, Indische Kerk terikat erat dengan kepentingan dan aparatur pemerintah kolonial.2 Pimpinan gereja kerap kali berada di tangan para pejabat tinggi pemerintahan Hindia Belanda, dan pedoman pelayanannya lebih didasarkan pada kepentingan negara daripada mandat Injil yang otonom.2 Akibatnya, gereja ini berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk menegakkan ketertiban dan kekuasaan Belanda, yang secara inheren menumbuhkan mentalitas sebagai ambtenaar (pegawai negeri) di kalangan pelayannya.2 Salah satu konsekuensi paling signifikan dari status ini adalah minimnya dorongan untuk pekabaran Injil yang mandiri dan pelayanan diakonia kepada masyarakat luas; gereja lebih berfungsi sebagai lembaga pemeliharaan rohani bagi komunitas Eropa dan Kristen pribumi yang sudah ada.2

Meskipun secara formal GPI telah bertransformasi menjadi sebuah persekutuan gereja-gereja otonom, warisan mentalitas staatskerk yang sentralistik dan hirarkis masih membayangi hubungan antara Sinode Am dan Gereja Bagian Mandiri (GBM). Selama berabad-abad, Indische Kerk beroperasi dengan model top-down, di mana otoritas terpusat di Batavia dan keputusan-keputusan dibuat selaras dengan kebijakan pemerintah kolonial.2 Pola ini menanamkan sebuah budaya organisasi yang sangat menghargai sentralisasi dan kepatuhan pada "pusat". Proses pemandirian GBM-GBM yang dimulai pada paruh pertama abad ke-20 merupakan respons pragmatis terhadap tantangan geografis yang maha luas dan tekanan-tekanan kontekstual di daerah  ., bukan sebuah revolusi eklesiologis yang secara sadar dan tuntas membongkar model sentralistik tersebut. Penggunaan istilah "gereja induk" yang masih kerap terdengar hingga kini secara tidak langsung menyiratkan adanya relasi hierarkis, bukan sekadar persekutuan antar-saudara yang setara  .. Hal ini menciptakan sebuah ambiguitas fundamental dalam tubuh GPI: Apakah Sinode Am berperan sebagai "orang tua" yang mengasuh, atau sebagai "kakak sulung" di antara saudara-saudara yang sederajat? Ambiguitas inilah yang menjadi sumber ketegangan laten, di mana di satu sisi GBM menuntut otonomi penuh sesuai semangat zamannya, sementara di sisi lain Sinode Am mungkin masih beroperasi dengan ekspektasi sebagai koordinator utama, sebuah residu dari DNA staatskerk-nya.

Transisi menuju model yang lebih mandiri mulai mengemuka secara serius pada tahun 1927, didorong oleh kesadaran bahwa luasnya geografi Nusantara dan spesifiknya persoalan di setiap daerah menuntut pelayanan yang lebih efektif dan terjangkau.1 Momentum ini dipercepat oleh dinamika-dinamika lokal, seperti pendirian Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) pada 29 Oktober 1933, sebuah gerakan yang lahir dari ketidakpuasan terhadap intervensi pemerintah kolonial dan dianggap sebagai bentuk "ketidaktaatan".1 Sebagai respons atas tekanan ini dan kelanjutan dari gagasan tahun 1927, diadakanlah Rapat Besar pada tahun 1933 yang bersejarah. Rapat ini memberikan kebebasan bagi jemaat-jemaat di Minahasa, Maluku, dan Timor untuk membentuk diri menjadi Gereja Bagian Mandiri (GBM) dalam "persekutuan penuh" dengan Indische Kerk.1 Proses inilah yang kemudian melahirkan GBM-GBM perintis: Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) pada 30 September 1934, Gereja Protestan Maluku (GPM) pada 6 September 1935, dan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) pada 31 Oktober 1947.1

Puncak dari proses transformasi ini terjadi pada Sidang Sinode Am di Bogor, 30 Mei – 10 Juni 1948. Dalam sidang ini, nama de Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie secara resmi di-Indonesiakan menjadi Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Pada momen yang sama, diputuskan pula pendirian Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) pada 31 Oktober 1948 untuk melayani wilayah-wilayah di luar ketiga GBM yang telah ada.1 Keputusan krusial yang diambil dalam sidang ini adalah bahwa GPI tetap dipertahankan eksistensinya. Namun, perannya mengalami pergeseran fundamental: dari sebuah gereja dengan struktur hierarkis yang membawahi jemaat-jemaat, menjadi sebuah payung persekutuan yang bersifat fungsional.5 GPI tidak lagi menjadi struktur di atas struktur, melainkan menjadi wujud simbolis dan fungsional dari keesaan gereja-gereja yang telah dimandirikan tersebut. Pergeseran paradigma ini, dari gereja negara yang sentralistik menjadi persekutuan gereja-gereja yang otonom, merupakan pergumulan inti yang terus membentuk identitas dan relevansi GPI hingga hari ini.


1.2. Paradoks Keesaan dan Kemandirian: Analisis Hubungan Sinode Am GPI dan 12 Gereja Bagian Mandiri (GBM)

Dinamika internal GPI modern dicirikan oleh sebuah paradoks fundamental antara dua pilar yang sama-sama kuat: komitmen teologis pada keesaan (oneness) dan realitas organisasional pada kemandirian (autonomy). Mengelola tegangan kreatif di antara dua kutub ini adalah tantangan strategis terbesar sekaligus panggilan luhur bagi Sinode Am GPI dan ke-12 Gereja Bagian Mandiri (GBM) anggotanya.

Dasar teologis keesaan persekutuan ini sangat kokoh, berakar pada Doa Tuhan Yesus dalam Yohanes 17, yang menjadi amanat agung bagi kesatuan umat-Nya  .. Semangat ini telah menjadi pengikat sejak awal proses pemandirian, di mana kesepakatan para pendeta pada tahun 1927 secara eksplisit menegaskan bahwa "Keesaan Gereja harus tetap dipertahankan". Visi Sinode Am GPI saat ini pun secara jelas merumuskan tujuannya untuk "Mewujudkan persekutuan yang berbelarasa" dan salah satu misinya adalah "memperjuangkan keadilan, perdamaian, keutuhan ciptaan dalam gerak bersama seluruh Gereja Bagian Mandiri (GBM)".6 Keesaan ini bukan hanya sebuah sentimen, tetapi sebuah mandat teologis yang menjadi justifikasi eksistensi GPI sebagai sebuah persekutuan.

Di sisi lain, realitas kemandirian atau otonomi GBM tidak dapat dinegasikan. Setiap GBM adalah sebuah entitas gerejawi yang lengkap dan berdaulat. Mereka memiliki Sinode mereka sendiri yang merupakan lembaga legislatif tertinggi, lengkap dengan personalia pimpinan (Ketua, Sekretaris, Bendahara Sinode) yang dipilih secara mandiri.7 Mereka menyusun dan menetapkan Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Pokok mereka sendiri, yang mengatur seluruh aspek kehidupan bergereja dari tingkat sinodal hingga jemaat.10 Lebih jauh, banyak GBM juga mendirikan dan mengelola yayasan-yayasan mereka sendiri untuk menjalankan program-program spesifik di bidang pendidikan, diakonia, kesehatan, dan hukum.7 Secara de jure dan de facto, setiap GBM adalah sebuah badan hukum dan organisasi yang mandiri secara operasional, finansial, dan yuridis.

Hubungan antara Sinode Am dan GBM-GBM dapat dianalogikan sebagai sebuah "perjanjian" (covenant) yang longgar, bukan sebuah struktur korporat yang terdefinisi dengan jelas. Dasar hubungan ini adalah kesepakatan historis dan komitmen teologis untuk "bersama-sama" dan "menjaga keesaan", yang esensinya adalah sebuah janji moral. Namun, isi dan batasan dari perjanjian ini cenderung ambigu. Tidak ditemukan adanya dokumen Tata Dasar atau Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Sinode Am GPI yang dapat diakses publik, yang secara definitif dan komprehensif mengatur hak, kewajiban, wewenang, dan mekanisme penyelesaian sengketa di antara para pihak dalam perjanjian ini.13 Hal ini kontras dengan GBM seperti GPIB yang memiliki dokumen Tata Gereja yang sangat rinci dan terstruktur.10 Dalam kekosongan aturan main yang eksplisit ini, interpretasi atas "perjanjian keesaan" menjadi sangat subjektif. Sinode Am GPI mungkin memandang perannya sebagai penjaga perjanjian dan karena itu merasa memiliki wewenang moral untuk memberi arahan atau bahkan teguran. Sebaliknya, GBM mungkin memandang perjanjian tersebut sebatas pengakuan persaudaraan historis tanpa implikasi yurisdiksi yang mengikat otonomi mereka. Ambiguitas ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai "loyalitas ganda" bagi para pimpinan GBM.15 Seorang Ketua Sinode GBM, secara teologis dan historis, terikat pada keesaan GPI. Namun, secara organisasional, finansial, dan hukum, ia bertanggung jawab penuh kepada Sidang Sinode dan jemaatnya sendiri. Ketika terjadi konflik kepentingan, dapat diprediksi bahwa loyalitas organisasional akan lebih dominan.

Ketegangan yang lahir dari paradoks ini termanifestasi secara nyata. Salah satu contoh paling relevan adalah isu yang diangkat dalam Sidang Majelis Sinode Am GPI tahun 2022, yang meminta agar GMIM menghentikan "ekspansi wilayah pelayanannya".17 Permintaan ini lahir dari semangat konsensus awal GPI, di mana setiap GBM memiliki wilayah pelayanannya masing-masing untuk menghindari tumpang tindih.5 Namun, permintaan ini berbenturan langsung dengan realitas mobilitas warga jemaat dan hak sebuah sinode yang mandiri untuk melayani anggotanya di manapun mereka berada. Kasus ini adalah contoh klasik di mana klaim "keesaan" (dalam bentuk penghormatan terhadap kesepakatan historis) berhadapan dengan klaim "kemandirian" (hak otonom sebuah sinode).

Frasa kunci yang sering digunakan untuk menjembatani paradoks ini adalah "persekutuan penuh" (full communion).9 Namun, frasa ini sendiri tidak memiliki definisi operasional yang jelas dalam dokumen-dokumen yang ada.6 Apakah "persekutuan penuh" hanya berarti saling pengakuan sakramen (baptisan dan perjamuan kudus) dan pelayan (pendeta), sebagaimana lazim dipahami dalam gerakan oikoumene global? Ataukah ia juga mengandung implikasi kewajiban finansial (seperti iuran sinode) dan ketaatan pada keputusan-keputusan yang diambil dalam Sidang Sinode Am GPI? Ketidakjelasan definisi inilah yang menjadi sumber utama potensi misinterpretasi dan konflik. Oleh karena itu, Sidang Sinode Am 2025 menjadi momentum yang sangat krusial, bukan hanya untuk merumuskan program kerja, tetapi yang lebih fundamental, untuk menegosiasikan ulang dan mendefinisikan kembali secara eksplisit makna dan praktik dari "persekutuan penuh" dalam perjanjian keesaan GPI. Tanpa kejelasan ini, GPI berisiko menjadi persekutuan yang rapuh, di mana keesaan hanya menjadi retorika tanpa daya ikat fungsional.

Tabel 1: Matriks Keanggotaan dan Keterikatan Oikumenis GPI

Gereja Bagian Mandiri (GBM)

Tanggal Pemandirian/ Bergabung

Keanggotaan dalam GPI

Keanggotaan dalam PGI

Keterangan Tambahan

Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM)

30 September 1934 1

Persekutuan Penuh

Anggota Penuh 18

Anggota WCC, CCA, WCRC 18

Gereja Protestan Maluku (GPM)

6 September 1935 1

Persekutuan Penuh

Anggota Penuh 18

Anggota WCC, CCA 18

Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)

31 Oktober 1947 1

Persekutuan Penuh

Anggota Penuh 18

Anggota WCC 18

Gereja Protestan di Indonesia bag. Barat (GPIB)

31 Oktober 1948 1

Persekutuan Penuh

Anggota Penuh 18

Anggota WCC, CCA, WCRC 18

Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID)

4 April 1965 1

Persekutuan Penuh

Anggota Penuh 19

Dimekarkan dari GMIM 20

Gereja Protestan Indonesia di Buol Toli-Toli (GPIBT)

18 April 1965 1

Persekutuan Penuh

Anggota Penuh 19

Dimekarkan dari GMIM 20

Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo (GPIG)

18 Juli 1965 1

Persekutuan Penuh

Anggota Penuh 19

Dimekarkan dari GMIM 20

Gereja Kristen di Luwuk Banggai (GKLB)

27 Januari 1966 9

Persekutuan Penuh

Anggota Penuh 21

Dimekarkan dari GKST 9

Gereja Protestan Indonesia di Papua (GPI Papua)

25 Mei 1985 1

Persekutuan Penuh

Anggota Penuh 19

Dimekarkan dari GPM 20

Gereja Protestan Indonesia di Banggai Kepulauan (GPIBK)

3 Februari 2000 1

Persekutuan Penuh

Anggota Penuh 19

Dimekarkan dari GKLB 20

Indonesian Evangelical Christian Church (IECC)

Bergabung 1998 1

Persekutuan Penuh

Tidak terdaftar

Berbasis di California, AS 22

Gereja Masehi Injili Talaud (GERMITA)

Bergabung 2002 1

Persekutuan Penuh

Anggota Penuh 19

Dimekarkan dari GMIST 20

Sumber: Disarikan dari 1

1.3. Peta Oikoumene Indonesia: Memposisikan GPI di Tengah Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)

Konteks pelayanan GPI tidak dapat dilepaskan dari lanskap oikumenis yang lebih luas di Indonesia, yang secara dominan diwakili oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Relasi antara GPI dan PGI bersifat unik dan kompleks, yang secara signifikan mempengaruhi relevansi dan peran strategis Sinode Am GPI di tingkat nasional.

Kompleksitas utama terletak pada fenomena keanggotaan ganda. Sebagaimana divisualisasikan dalam Tabel 1, Sinode Am GPI sendiri terdaftar sebagai salah satu anggota PGI.19 Namun, pada saat yang sama, mayoritas GBM-nya, terutama yang memiliki sejarah panjang dan jumlah anggota besar seperti GMIM, GPM, GMIT, dan GPIB, juga merupakan anggota PGI secara individual dan bahkan menjadi anggota pendiri DGI (cikal bakal PGI) pada 25 Mei 1950.18 Struktur keanggotaan yang tumpang tindih ini menciptakan sebuah anomali eklesiologis dan organisasional. Secara praktis, hal ini dapat melemahkan posisi dan relevansi Sinode Am GPI. Ketika isu-isu nasional yang menyangkut umat Kristen di Minahasa dibahas, PGI dapat secara langsung berdialog dengan pimpinan Sinode GMIM. Demikian pula halnya dengan isu-isu di Maluku dengan GPM, atau di Timor dengan GMIT.

Kondisi ini memunculkan sebuah pertanyaan strategis yang fundamental: Apa peran unik dan nilai tambah (unique value proposition) yang ditawarkan oleh Sinode Am GPI dalam konstelasi oikumenis nasional yang tidak dapat dipenuhi oleh PGI atau oleh GBM secara individual? Tanpa jawaban yang jelas atas pertanyaan ini, eksistensi fungsional Sinode Am GPI berisiko mengalami erosi relevansi.

Semakin kuat dan mandiri GBM-GBM—terutama yang besar seperti GMIM, GPM, dan GPIB—dalam kancah oikumenis nasional melalui PGI, maka secara paradoksal peran Sinode Am GPI sebagai "payung" oikumenis bagi mereka menjadi semakin kurang signifikan. Sebuah organisasi ada untuk memberikan nilai tambah yang tidak bisa dicapai oleh anggotanya secara individual. Namun, GBM-GBM besar ini memiliki sumber daya, pengaruh, dan akses langsung tidak hanya ke forum nasional seperti PGI, tetapi juga ke lembaga-lembaga oikumenis internasional seperti Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (WCC) dan Persekutuan Gereja-Gereja Reformed se-Dunia (WCRC).7 Mereka tidak membutuhkan Sinode Am GPI sebagai perantara untuk terlibat dalam percakapan oikumenis yang lebih luas. Dalam banyak hal, PGI telah menjadi forum oikumenis de facto bagi gereja-gereja Protestan di Indonesia, mengambil alih peran yang secara historis mungkin diharapkan diemban oleh GPI sebagai penerus Indische Kerk.24

Paradoks relevansi ini menuntut GPI untuk secara radikal mendefinisikan ulang perannya. Upaya untuk bertindak sebagai "sinode di atas sinode" atau koordinator struktural akan terus menghadapi resistensi dan menjadi tidak efektif. Agar tetap relevan dan memberikan nilai tambah yang nyata, Sinode Am GPI harus bertransformasi. Perannya harus bergeser dari koordinasi struktural yang ambigu ke fasilitasi fungsional yang strategis. Beberapa ceruk peran yang dapat dieksplorasi adalah:

  1. Inkubator bagi GBM Kecil: Memberikan dukungan kapasitas (manajemen, keuangan, SDM) kepada GBM-GBM yang lebih kecil dan relatif baru, yang mungkin tidak memiliki sumber daya sebesar GBM perintis.
  2. Platform Kolaborasi Lintas Batas: Menjadi fasilitator untuk isu-isu yang melintasi batas-batas yurisdiksi GBM, seperti pengembangan teologi digital, advokasi keadilan ekologis, atau program misi bersama di wilayah-wilayah baru yang belum terjangkau.
  3. Penjaga Memori dan DNA Historis: Berperan sebagai kustodian warisan teologis dan historis bersama yang diwarisi dari Indische Kerk. Ini adalah peran unik yang tidak dimiliki oleh PGI. GPI adalah satu-satunya entitas yang dapat berbicara dari memori kolektif sebagai "gereja tertua" di Asia, memberikan perspektif historis yang mendalam pada isu-isu kontemporer.

Dengan memfokuskan diri pada peran-peran fungsional ini, Sinode Am GPI dapat bertransformasi dari sebuah lembaga yang eksistensinya dipertanyakan menjadi sebuah simpul yang vital dan tak tergantikan dalam jaringan persekutuan ke-12 GBM-nya, seraya memperkaya gerakan oikumenis di Indonesia secara keseluruhan.


Bagian II: Rencana Strategis Sinode Am GPI 2025-2030

Berdasarkan analisis kontekstual yang mendalam, bagian ini menyajikan Kerangka Rencana Strategis yang komprehensif untuk Sinode Am Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dan Gereja Bagian Mandiri (GBM) untuk periode lima tahun, 2025-2030. Kerangka kerja ini mengadopsi dan mengadaptasi metodologi terbaik dari praktik konsultasi manajemen internasional, yang dijalin dengan filosofi dasar yang berakar pada panggilan iman: "Purpose-Led Strategy, Faith-Driven Execution". Tujuannya adalah untuk menyediakan sebuah proses yang terstruktur, komprehensif, dan dapat ditindaklanjuti (actionable) bagi seluruh aras kepemimpinan dalam menavigasi era disrupsi, selaras dengan tema Sidang Sinode Am (SSA) 2025: "Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik" (1 Tesalonika 5:21).

Fase 1: Diagnosis Strategis – Di Mana Kita Sekarang?

Fase pertama ini bertujuan untuk membangun pemahaman yang jujur, mendalam, dan berbasis data mengenai kondisi internal dan eksternal GPI saat ini. Tanpa diagnosis yang akurat, strategi yang dirumuskan akan menjadi rapuh dan tidak relevan.

2.1. Analisis Lingkungan Eksternal (PESTLE): Mengidentifikasi Arus Perubahan di Indonesia

Analisis PESTLE (Political, Economic, Social, Technological, Legal, Environmental) memetakan kekuatan-kekuatan makro di luar kendali gereja yang secara signifikan mempengaruhi konteks pelayanannya.

  • Political (Politik): Lanskap politik Indonesia pasca-Pemilihan Umum 2024 diperkirakan akan terus diwarnai oleh dinamika menuju stabilitas di tengah potensi polarisasi yang masih tersisa.27 Polarisasi afektif (berbasis sentimen) dan identitas (berbasis suku dan agama) merupakan tantangan nyata yang dapat merembes ke dalam kehidupan jemaat dan mengancam kerukunan sosial.27 Gereja dipanggil untuk menjadi agen perdamaian dan tidak terseret dalam politik praktis yang memecah belah. Di sisi lain, pemerintah, melalui Kementerian Agama, secara aktif mempromosikan kebijakan Penguatan Moderasi Beragama 29 dan melakukan penataan lembaga keagamaan di tingkat bawah seperti Kantor Urusan Agama (KUA).30 Ini membuka peluang bagi GPI dan GBM-GBMnya untuk berkolaborasi dengan negara dalam program-program yang sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan, sekaligus menjadi tantangan untuk memastikan kebijakan tersebut diimplementasikan secara adil dan tidak diskriminatif, terutama terkait isu pendirian rumah ibadah.31
  • Economic (Ekonomi): Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025, menurut Bank Indonesia, berada dalam rentang 4.6% hingga 5.4%.33 Meskipun menunjukkan resiliensi, angka ini perlu dicermati dalam konteks ketidakpastian global. Tingkat inflasi yang terjaga (sekitar 1.95% yoy per April 2025) 33 membantu menjaga daya beli, namun tekanan ekonomi tetap dirasakan oleh sebagian besar jemaat. Kondisi ekonomi regional sangat bervariasi, di mana wilayah pelayanan utama beberapa GBM seperti di Sulawesi, Maluku, dan NTT menghadapi tantangan ekonomi yang berbeda dibandingkan dengan pusat-pusat ekonomi di Jawa.35 Fluktuasi ekonomi ini berdampak langsung pada kemampuan jemaat untuk memberi persembahan, yang pada gilirannya mempengaruhi kesehatan finansial dan keberlanjutan program-program gereja di semua aras.
  • Social (Sosial): Indonesia menghadapi beberapa pergeseran sosial yang signifikan. Pertama, dari sisi demografi, terjadi tren penurunan persentase pemuda (usia 16-30 tahun) dalam total populasi, yang pada tahun 2024 mencapai 22.99%.36 Fenomena ini, ditambah dengan penuaan jemaat di banyak gereja arus utama, menjadi alarm bagi pentingnya program regenerasi dan pelayanan yang relevan bagi generasi muda.
    Kedua, isu keadilan sosial dan kemiskinan tetap menjadi panggilan diakonia yang mendesak. Meskipun angka kemiskinan nasional menunjukkan tren menurun (9.03% per Maret 2024), jumlah absolut penduduk miskin masih sangat besar, yaitu 25.22 juta jiwa 37, dengan disparitas yang tajam antara perkotaan (7.09%) dan pedesaan (11.79%).37
    Ketiga, hubungan antarumat beragama menunjukkan dinamika yang kompleks. Di satu sisi, pemerintah dan berbagai elemen masyarakat sipil gencar mengkampanyekan toleransi.39 Di sisi lain, kasus-kasus intoleransi, terutama terkait pendirian rumah ibadah, dilaporkan masih fluktuatif dan bahkan sempat melonjak pada tahun 2023.32 Gereja harus mampu menavigasi lanskap sosial yang kompleks ini dengan bijaksana.
  • Technological (Teknologi): Revolusi digital telah merasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Tingkat penetrasi internet mencapai 79.5% dari total populasi pada awal 2024, setara dengan lebih dari 221 juta jiwa.41 Angka ini bahkan lebih tinggi di kalangan generasi muda, di mana penetrasi pada kelompok Milenial mencapai 93.17% dan Gen Z 87.02%.41 Tingginya adopsi digital ini merupakan peluang sekaligus tantangan masif bagi gereja. Ia membuka pintu bagi inovasi pelayanan seperti ibadah hibrida (fisik dan daring), penggunaan platform manajemen gereja (Church Management System - ChMS) untuk administrasi yang efisien 43, dan penyebaran konten-konten pembinaan iman melalui media sosial, podcast, dan video.44 Namun, ia juga menuntut gereja untuk beradaptasi dengan cepat, meningkatkan literasi digital para pelayan dan jemaat, serta mengatasi kesenjangan digital yang mungkin masih ada di beberapa wilayah pelayanan.
  • Legal (Hukum): Kerangka hukum yang mengatur organisasi keagamaan di Indonesia memberikan beberapa opsi status badan hukum, umumnya sebagai yayasan (diatur oleh UU No. 28/2004) atau perkumpulan (diatur oleh UU Ormas No. 17/2013 dan peraturan Menkumham).46 Pemahaman yang jelas mengenai status badan hukum masing-masing GBM dan Sinode Am GPI sendiri sangat krusial untuk pengelolaan aset, ketenagakerjaan, dan akuntabilitas hukum. Peraturan Menteri Agama No. 19 Tahun 2021 tentang Pemberian Pertimbangan untuk Pengesahan Badan Hukum Ormas Keagamaan menjadi salah satu acuan penting yang perlu diperhatikan.47 Selain itu, peraturan pemerintah yang lebih baru, seperti PP No. 25 Tahun 2024 yang memungkinkan ormas keagamaan untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan, membuka diskursus baru tentang peran ekonomi gereja, yang perlu dikaji secara teologis dan etis.49
  • Environmental (Lingkungan): Kesadaran akan krisis ekologi global semakin meningkat dan telah melahirkan diskursus teologis yang relevan di Indonesia, yaitu green theology atau ekoteologi.50 Semakin banyak gereja dan teolog yang menyerukan tanggung jawab moral umat Kristen sebagai "penatalayan ciptaan" (stewards of creation).51 Panggilan ini bukan hanya wacana, tetapi telah diwujudkan dalam program-program konkret seperti pengelolaan sampah, penanaman pohon, dan khotbah-khotbah profetik yang mengkritik eksploitasi alam.52 Isu lingkungan hidup ini membuka sebuah area pelayanan dan kesaksian baru yang sangat relevan, terutama bagi generasi muda yang memiliki kepedulian tinggi terhadap isu ini, dan menjadi panggilan bagi GPI untuk merumuskan teologi dan aksi ekologisnya secara lebih sistematis.

2.2. Analisis Kondisi Internal (McKinsey 7S Framework): Membedah Kesehatan Organisasi GPI dan GBM

Kerangka 7S dari McKinsey adalah alat diagnostik untuk menilai keselarasan tujuh elemen internal organisasi. Untuk GPI, analisis ini menyoroti area-area krusial yang memerlukan perhatian.

  • Strategy (Strategi): Strategi keesaan GPI saat ini dapat dinilai ambigu dan kurang terkomunikasikan dengan baik. Di satu sisi, ada komitmen luhur pada "persekutuan penuh" dan "gerak bersama".6 Namun, di sisi lain, praktik di lapangan menunjukkan adanya ketegangan, seperti dalam kasus "ekspansi wilayah pelayanan" oleh salah satu GBM yang memicu reaksi dari Sinode Am.17 Hal ini mengindikasikan bahwa strategi keesaan yang ada tidak dipahami atau tidak disepakati secara seragam di semua tingkatan, atau bahkan tidak lagi memadai untuk menjawab realitas mobilitas jemaat modern. Ketidakselarasan antara strategi yang tertulis dengan kenyataan di lapangan adalah kelemahan strategis yang fundamental.
  • Structure (Struktur): Struktur GPI sebagai sebuah persekutuan (federasi) gereja-gereja otonom bersifat desentralistis. Namun, struktur ini memiliki kelemahan signifikan pada aras Sinode Am. Ketiadaan Tata Dasar Sinode Am yang terkodifikasi, disepakati bersama, dan dapat diakses publik menciptakan kekaburan wewenang dan relasi kuasa antara Sinode Am dan GBM.13 Ini sangat kontras dengan GBM-GBM seperti GPIB, yang memiliki Tata Gereja yang sangat rinci dan jelas mengatur hierarki persidangan dan pengambilan keputusan.10 Struktur Badan Pengurus, Pengawas, dan Penasihat Sinode Am yang ada saat ini 13 perlu dievaluasi efektivitasnya: apakah struktur ini dirancang untuk melayani dan memfasilitasi GBM yang otonom, ataukah ia masih mencerminkan sisa-sisa model hierarkis dari masa lalu?
  • Systems (Sistem): Sistem-sistem kerja utama yang menopang organisasi—seperti sistem keuangan, sistem pelaporan data jemaat, alur komunikasi, dan proses pengambilan keputusan—kemungkinan besar tidak terstandarisasi di antara Sinode Am dan ke-12 GBM. Isu mengenai mekanisme dan besaran iuran atau kontribusi finansial dari GBM ke Sinode Am seringkali menjadi titik sensitif dan potensi friksi.4 Komunikasi dari pusat ke daerah dan sebaliknya mungkin masih bersifat ad-hoc. Untuk menjawab tantangan era disrupsi, GPI memerlukan sistem yang lebih terintegrasi, transparan, dan efisien, yang kemungkinan besar harus berbasis digital.
  • Shared Values (Nilai-Nilai Bersama): Nilai inti yang menjadi perekat GPI adalah "Keesaan dalam Kepelbagaian" (Unity in Diversity) 9, yang berakar kuat pada fondasi teologis Yohanes 17. Nilai ini adalah "roh" dari persekutuan GPI. Namun, dalam praktiknya, nilai luhur ini seringkali diuji dan berbenturan dengan kepentingan-kepentingan institusional masing-masing GBM, seperti kebanggaan denominasi, pertimbangan finansial, atau perebutan pengaruh. Pertanyaan kritis yang harus dijawab adalah: Apakah nilai keesaan ini benar-benar menjadi panduan utama dalam setiap pengambilan keputusan, ataukah ia hanya menjadi slogan yang diulang dalam persidangan-persidangan gerejawi?
  • Style (Gaya Kepemimpinan): Gaya kepemimpinan yang dominan di tingkat Sinode Am dan di antara para pimpinan GBM sangat mempengaruhi kesehatan dan dinamika persekutuan. Apakah gaya kepemimpinan yang ada cenderung direktif (memberi perintah), partisipatif (melibatkan), atau melayani (servant leadership)? Dalam sebuah struktur federasi yang menghargai otonomi, gaya kepemimpinan yang fasilitatif dan melayani, yang membangun konsensus dan kepercayaan, akan jauh lebih efektif daripada gaya yang sentralistik dan direktif. Analisis terhadap gaya kepemimpinan para tokoh kunci di GPI menjadi penting untuk memahami dinamika pengambilan keputusan saat ini.
  • Staff (Sumber Daya Manusia): Kualitas sumber daya manusia, terutama para pelayan (pendeta, penatua, diaken) dan staf kantor sinode, adalah aset terpenting gereja. Terdapat indikasi kuat adanya kebutuhan mendesak untuk pengembangan kompetensi para pendeta, yang tidak hanya terbatas pada penguasaan teologi, tetapi juga mencakup keterampilan manajerial, kepemimpinan strategis, dan literasi digital.56 Sistem rekrutmen, pembinaan berkelanjutan, dan pengembangan karier bagi para pelayan di seluruh lingkup GPI perlu ditinjau ulang untuk memastikan mereka mampu menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks.
  • Skills (Keterampilan): Sebagai sebuah persekutuan, GPI memiliki keterampilan kolektif yang unik dan berharga. Ini termasuk warisan teologi Reformed yang kaya dan mendalam 9, pengalaman historis yang panjang dalam menavigasi perubahan zaman, dan kemampuan mediasi yang teruji dalam konteks masyarakat yang beragam. Namun, di sisi lain, terdapat potensi kesenjangan keterampilan (skills gap) yang signifikan di area-area krusial untuk masa depan, seperti manajemen organisasi modern, analisis data untuk pengambilan keputusan, transformasi digital, advokasi kebijakan publik, dan pengembangan social enterprise.

2.3. Sintesis Diagnosis (TOWS Matrix): Merumuskan Opsi-Opsi Strategis Proaktif

Matriks TOWS digunakan untuk menyintesis analisis eksternal (Peluang/Threats dari PESTLE) dan internal (Kekuatan/Weaknesses dari 7S) menjadi empat kuadran opsi strategis yang proaktif. Ini adalah jembatan antara diagnosis dan formulasi strategi.

Kuadran SO (Strengths-Opportunities): Strategi Agresif

Bagaimana menggunakan Kekuatan internal untuk menangkap Peluang eksternal?

  • Opsi Strategis SO-1: Memanfaatkan Kekuatan warisan historis GPI sebagai gereja pemersatu dan jaringan luas di 12 GBM 9 untuk menangkap
    Peluang kebutuhan akan suara moral yang menyejukkan di tengah polarisasi politik pasca-pemilu.27
  • Inisiatif Turunan: Membentuk "Forum Kebangsaan GPI" yang difasilitasi oleh Sinode Am, sebagai platform dialog lintas-iman, lintas-etnis, dan lintas-politik yang kredibel untuk merawat tenun kebangsaan.
  • Opsi Strategis SO-2: Menggunakan Kekuatan tradisi teologi yang mendalam 59 untuk merespons
    Peluang meningkatnya kesadaran ekologis di masyarakat.50
  • Inisiatif Turunan: Mengembangkan dan mempublikasikan "Pokok-Pokok Pemahaman Iman GPI tentang Keadilan Ekologis" sebagai panduan teologis bersama, dan menginisiasi gerakan "GPI Hijau" dengan program konkret di tingkat jemaat.

Kuadran WO (Weaknesses-Opportunities): Strategi Perbaikan

Bagaimana mengatasi Kelemahan internal dengan memanfaatkan Peluang eksternal?

  • Opsi Strategis WO-1: Mengatasi Kelemahan rendahnya keterampilan digital dan manajerial di kalangan pelayan 56 dengan memanfaatkan
    Peluang tingginya penetrasi internet dan ketersediaan platform teknologi pendidikan.41
  • Inisiatif Turunan: Mendirikan "Akademi Kepemimpinan & Digital GPI" sebagai platform e-learning yang dikelola Sinode Am, menyediakan kursus-kursus bersertifikat tentang manajemen gereja, keuangan, dan pelayanan digital bagi para pelayan dan aktivis dari seluruh GBM.
  • Opsi Strategis WO-2: Mengatasi Kelemahan sistem keuangan yang tidak terstandarisasi dan potensi ketergantungan pada persembahan 4 dengan memanfaatkan
    Peluang kerangka hukum yang memungkinkan organisasi keagamaan memiliki unit usaha.49
  • Inisiatif Turunan: Membentuk Badan Pengembangan Ekonomi (BPE) Sinode Am untuk melakukan studi kelayakan dan merintis unit usaha sosial (social enterprise) yang dapat menjadi sumber pendanaan alternatif dan berkelanjutan.

Kuadran ST (Strengths-Threats): Strategi Diversifikasi/Pertahanan

Bagaimana menggunakan Kekuatan untuk menghadapi atau menghindari Ancaman eksternal?

  • Opsi Strategis ST-1: Menggunakan Kekuatan jaringan solidaritas yang luas di 12 GBM untuk menghadapi Ancaman krisis ekonomi yang dapat menekan jemaat secara tidak merata di berbagai wilayah.33
  • Inisiatif Turunan: Menciptakan "Dana Solidaritas Diakonia GPI" yang dikelola secara transparan oleh Sinode Am, di mana GBM yang lebih mapan dapat menopang GBM atau jemaat di wilayah yang mengalami bencana alam atau krisis ekonomi parah.
  • Opsi Strategis ST-2: Menggunakan Kekuatan nilai bersama tentang "Keesaan" 9 untuk melawan
    Ancaman perpecahan internal akibat isu-isu sensitif seperti politisasi agama menjelang pemilu.40
  • Inisiatif Turunan: Menerbitkan "Seruan Pastoral Bersama Sinode Am GPI dan 12 Ketua Sinode GBM" menjelang setiap perhelatan politik, yang menegaskan netralitas institusi gereja dan mendorong warga gereja untuk menjadi pemilih yang cerdas dan bertanggung jawab.

Kuadran WT (Weaknesses-Threats): Strategi Defensif/Meminimalkan Kerugian

Langkah defensif untuk meminimalkan Kelemahan dan menghindari Ancaman.

  • Opsi Strategis WT-1: Meminimalkan Kelemahan struktur organisasi yang ambigu dan potensi konflik yurisdiksi 13 untuk menghindari Ancaman semakin menurunnya relevansi dan kredibilitas GPI di mata anggotanya dan publik.60
  • Inisiatif Turunan: Menjadikan revisi dan pengesahan Tata Dasar GPI yang baru sebagai agenda prioritas utama dan keputusan strategis nomor satu dalam Sidang Sinode Am 2025. Proses ini harus secara eksplisit mendefinisikan kembali peran, wewenang, hak, dan kewajiban Sinode Am dan GBM.
  • Opsi Strategis WT-2: Mengatasi Kelemahan dalam regenerasi dan pelayanan kaum muda 61 untuk menghindari Ancaman gereja menjadi tidak relevan dan ditinggalkan oleh generasi mendatang di tengah era disrupsi.
  • Inisiatif Turunan: Mengalokasikan sumber daya sinodal secara khusus untuk program "Inkubator Pelayanan Generasi Z", sebuah inisiatif yang mendanai dan mendampingi proyek-proyek pelayanan inovatif dari, oleh, dan untuk kaum muda di berbagai GBM.

Fase 2: Formulasi Strategi – Ke Mana Kita Akan Pergi?

Setelah melakukan diagnosis mendalam, fase ini berfokus pada penetapan arah yang jelas dan inspiratif. Ini adalah tentang menjawab pertanyaan, "Melihat realitas yang ada, gereja seperti apakah yang Tuhan panggil untuk kita wujudkan dalam lima tahun ke depan?"

3.1. Peneguhan Visi, Misi, dan Nilai-Nilai Inti: "Purpose-Led Strategy, Faith-Driven Execution"

Mengadopsi pendekatan "Purpose-Led Transformation" dari EY 62, strategi GPI harus berakar pada tujuan fundamentalnya (purpose). Visi, Misi, dan Nilai-Nilai Inti bukan sekadar hiasan dokumen, melainkan kompas moral dan strategis yang memandu setiap keputusan dan tindakan. Berdasarkan analisis sebelumnya, diusulkan peneguhan sebagai berikut:

  • Visi: Pernyataan Visi harus bersifat aspirasional, menggambarkan masa depan yang ingin dicapai, dan menjawab tantangan identitas yang telah diidentifikasi. Visi GPI saat ini adalah "Mewujudkan persekutuan yang berbelarasa untuk memperjuangkan kehidupan di tengah era disrupsi digital".6 Visi ini baik namun dapat dipertajam agar lebih komprehensif dan mencakup panggilan yang lebih luas.
  • Usulan Visi 2025-2030: "Menjadi Persekutuan Gereja yang Esa, Misioner, dan Transformatif, yang berakar pada Injil, relevan dalam kepelbagaian, dan menjadi berkat bagi keutuhan ciptaan di Indonesia."
  • Rasionalisasi:
  • "Persekutuan Gereja yang Esa": Menegaskan kembali identitas inti GPI.
  • "Misioner dan Transformatif": Menggeser fokus dari sekadar "bertahan" menjadi proaktif dalam "mengubah".
  • "Berakar pada Injil": Menegaskan fondasi teologis yang tidak tergoyahkan.
  • "Relevan dalam kepelbagaian": Secara eksplisit mengakui dan merayakan otonomi dan kekhasan 12 GBM.
  • "Berkat bagi keutuhan ciptaan di Indonesia": Memperluas cakupan pelayanan melampaui manusia, mencakup isu ekologis dan konteks kebangsaan.
  • Misi: Pernyataan Misi adalah penjabaran konkret tentang apa yang akan dilakukan GPI untuk mencapai Visi. Misi yang ada saat ini 6 dapat difokuskan kembali untuk mencerminkan pilar-pilar strategis yang akan dirumuskan.
  • Usulan Misi 2025-2030:
  1. Memperkokoh Keesaan Fungsional GPI melalui dialog teologis yang mendalam, penataan ulang tata kelola persekutuan yang adil dan jelas, serta program-program kolaboratif yang saling membangun antar Gereja Bagian Mandiri.
  2. Memperlengkapi Seluruh Warga Gereja (awam dan pelayan khusus) untuk bertumbuh dalam iman, spiritualitas, dan kompetensi agar menjadi saksi Kristus yang relevan dan berdaya di tengah era disrupsi.
  3. Mewujudkan Keadilan Sosial dan Ekologis melalui pelayanan diakonia yang transformatif, pemberdayaan ekonomi jemaat, dan advokasi kenabian yang berpihak pada kaum marginal dan kelestarian lingkungan hidup.
  4. Merangkul Inovasi Digital dan Teknologi secara bertanggung jawab untuk memperluas jangkauan pelayanan, meningkatkan efektivitas organisasi, dan menjangkau generasi baru.
  • Nilai-Nilai Inti (Core Values): Ini adalah prinsip-prinsip perilaku yang harus dihidupi oleh seluruh pelayan dan warga gereja dalam menjalankan misi. Nilai-nilai ini harus menjadi filter dalam setiap pengambilan keputusan.
  • Usulan Nilai-Nilai Inti:
  1. Kasih (Agape): Dasar dari semua relasi, baik internal antar GBM maupun eksternal dengan masyarakat.
  2. Integritas (Integrity): Komitmen pada kejujuran, transparansi, dan tata kelola yang baik (good governance) dalam segala hal, terutama keuangan dan aset.
  3. Keesaan (Unity): Menghargai dan memperjuangkan kesatuan dalam kepelbagaian, memprioritaskan kepentingan bersama di atas ego institusional.
  4. Pertumbuhan (Growth): Memiliki pola pikir yang terus mau belajar, bertumbuh, dan beradaptasi, baik secara spiritual, kuantitatif, maupun institusional.
  5. Pelayanan yang Melayani (Servant Leadership): Meneladani Kristus dalam memimpin, yaitu dengan merendahkan diri untuk melayani, bukan untuk dilayani.

3.2. Pilar-Pilar Strategis (Strategic Pillars) 2025-2030

Pilar-pilar strategis adalah 4 area fokus utama yang akan menjadi prioritas Sinode Am GPI dan GBM selama lima tahun ke depan. Setiap pilar menjawab pertanyaan, "Di area mana kita harus unggul untuk mencapai visi kita?"

  • Pilar 1: Revitalisasi Spiritualitas dan Keesaan Fungsional
  • Fokus: Memperkuat fondasi teologis, spiritualitas jemaat, dan menata ulang relasi internal GPI. Pilar ini secara langsung menjawab kelemahan pada elemen Strategy, Structure, dan Shared Values dalam analisis 7S, serta mengatasi "Paradoks Keesaan" dan "Ambiguitas Perjanjian" yang diidentifikasi di Bagian I.
  • Area Program Kunci: Dialog teologis intensif untuk merumuskan ulang Tata Dasar GPI, pengembangan materi pembinaan warga gereja yang kontekstual, standardisasi liturgi yang bisa diadaptasi, dan fasilitasi forum-forum pertemuan antar pimpinan GBM untuk membangun kepercayaan dan pemahaman bersama.
  • Pilar 2: Diakonia Transformatif dan Kesaksian Publik
  • Fokus: Mendorong dampak nyata gereja di tengah masyarakat. Pilar ini adalah jawaban terhadap tantangan Social dan Environmental dari analisis PESTLE, seperti kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan krisis ekologi.
  • Area Program Kunci: Pengembangan program diakonia yang berfokus pada pemberdayaan (bukan karitatif semata), advokasi kebijakan publik untuk keadilan bagi kelompok rentan, pengembangan program teologi hijau yang konkret (misalnya, gereja ramah lingkungan), dan penguatan peran gereja sebagai agen kerukunan antarumat beragama.
  • Pilar 3: Kapasitas Organisasi dan Kepemimpinan Unggul (Organizational & Leadership Excellence)
  • Fokus: Membenahi "mesin" organisasi gereja agar lebih efektif, efisien, dan akuntabel. Pilar ini terinspirasi dari kekuatan KPMG dalam tata kelola dan manajemen risiko, serta menjawab kelemahan pada elemen Systems, Staff, dan Skills dalam analisis 7S.
  • Area Program Kunci: Pengembangan kompetensi manajerial dan kepemimpinan bagi pendeta dan pimpinan awam, perbaikan sistem administrasi dan pelaporan, manajemen SDM yang profesional, dan implementasi prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang diadaptasi untuk gereja.
  • Pilar 4: Inovasi Digital dan Penatalayanan Sumber Daya Berkelanjutan
  • Fokus: Memastikan keberlanjutan pelayanan GPI di masa depan melalui adaptasi teknologi dan pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab. Pilar ini menjawab tantangan Technological dan Economic dari analisis PESTLE, serta isu pengelolaan aset dan keuangan.64
  • Area Program Kunci: Transformasi digital layanan gerejawi, pengembangan platform digital bersama untuk pembelajaran dan kolaborasi, optimalisasi dan inventarisasi aset-aset warisan Indische Kerk, serta pengembangan unit-unit usaha gereja (social enterprise) untuk kemandirian finansial.

3.3. Sasaran & Ukuran Keberhasilan (Objectives and Key Results - OKR)

Untuk setiap pilar, ditetapkan Sasaran (Objectives) yang kualitatif dan inspiratif, serta beberapa Hasil Kunci (Key Results) yang kuantitatif, terukur, dan berbatas waktu. Metode OKR memastikan bahwa setiap pilar tidak hanya menjadi gagasan, tetapi dapat dieksekusi dan diukur keberhasilannya.

  • Contoh OKR untuk Pilar 1: Revitalisasi Spiritualitas dan Keesaan Fungsional
  • Objective 1.1: Memperdalam kehidupan spiritual jemaat di segala usia di seluruh lingkup GPI.
  • Key Result 1.1.1: Tingkat partisipasi aktif jemaat dalam kegiatan pendalaman Alkitab atau kelompok sel meningkat sebesar 40% pada akhir 2028.
  • Key Result 1.1.2: Kurikulum katekisasi baru yang relevan dengan konteks generasi Z dan Alpha selesai disusun dan diadopsi oleh minimal 10 dari 12 GBM pada Q2 2027.
  • Key Result 1.1.3: Meluncurkan platform renungan harian digital bersama GPI yang mencapai 50.000 pengguna aktif bulanan pada akhir 2029.
  • Objective 1.2: Memperjelas dan memperkuat tata kelola persekutuan GPI yang esa dan fungsional.
  • Key Result 1.2.1: Tata Dasar GPI yang baru, yang mendefinisikan peran Sinode Am dan GBM, disahkan dalam SSA 2025 dan disosialisasikan ke 100% klasis di 12 GBM pada akhir 2026.
  • Key Result 1.2.2: Forum dialog teologis antar pimpinan GBM dilaksanakan secara rutin minimal 2 kali setahun untuk membahas isu-isu strategis bersama.
  • Contoh OKR untuk Pilar 2: Diakonia Transformatif dan Kesaksian Publik
  • Objective 2.1: Meningkatkan dampak pelayanan diakonia GPI dalam mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan.
  • Key Result 2.1.1: Minimal 50% jemaat lokal di seluruh GBM memiliki program pemberdayaan ekonomi bagi warga jemaat/masyarakat sekitar yang terukur dampaknya pada tahun 2030.
  • Key Result 2.1.2: Terbentuknya 5 tim advokasi bersama lintas-GBM yang aktif menangani isu-isu spesifik (misal: kekerasan terhadap perempuan dan anak, hak masyarakat adat, keadilan agraria).
  • Objective 2.2: Menjadikan GPI sebagai pelopor gerakan keadilan ekologis di Indonesia.
  • Key Result 2.2.1: 200 jemaat di seluruh lingkup GPI menjadi "Jemaat Percontohan Ramah Lingkungan" (dengan kriteria jelas: manajemen sampah, efisiensi energi, penghijauan) pada tahun 2030.
  • Key Result 2.2.2: Melaksanakan program penanaman 1.000.000 pohon atas nama persekutuan GPI dalam kurun waktu 5 tahun.
  • Contoh OKR untuk Pilar 3: Kapasitas Organisasi dan Kepemimpinan Unggul
  • Objective 3.1: Meningkatkan kompetensi dan kapabilitas para pelayan (pendeta dan awam) di seluruh aras.
  • Key Result 3.1.1: 75% dari seluruh pendeta aktif di lingkup GPI telah mengikuti minimal satu program sertifikasi dari Akademi Kepemimpinan & Digital GPI pada akhir 2029.
  • Key Result 3.1.2: Tersusun dan diimplementasikannya jalur karier dan sistem evaluasi kinerja yang jelas untuk para pendeta di minimal 8 GBM.
  • Objective 3.2: Mewujudkan tata kelola organisasi yang transparan dan akuntabel.
  • Key Result 3.2.1: 100% GBM dan Sinode Am mempublikasikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit kepada jemaatnya mulai tahun 2027.
  • Key Result 3.2.2: Implementasi sistem informasi manajemen jemaat dan keuangan yang terintegrasi di 60% jemaat pada tahun 2030.
  • Contoh OKR untuk Pilar 4: Inovasi Digital dan Penatalayanan Sumber Daya Berkelanjutan
  • Objective 4.1: Meningkatkan keterlibatan generasi muda dalam kehidupan bergereja melalui inovasi digital.
  • Key Result 4.1.1: Peningkatan partisipasi kaum muda (usia 15-30) dalam ibadah hari Minggu (baik fisik maupun online) sebesar 30% dalam 3 tahun.
  • Key Result 4.1.2: Meluncurkan 5 program digital (podcast, seri video, aplikasi mobile) untuk pembinaan kaum muda dengan target 10.000 pendengar/penonton unik per bulan pada tahun 2028.
  • Key Result 4.1.3: 80% jemaat lokal memiliki komisi pemuda yang aktif dengan program kerja yang terukur dan relevan dengan dunia digital.
  • Objective 4.2: Mencapai kemandirian finansial yang berkelanjutan untuk pelayanan sinodal.
  • Key Result 4.2.1: Inventarisasi dan sertifikasi 100% aset milik Sinode Am GPI selesai pada akhir 2026.
  • Key Result 4.2.2: Badan Pengembangan Ekonomi (BPE) Sinode Am berhasil meluncurkan 2 unit usaha sosial yang mencapai titik impas (break-even point) pada tahun 2029.

Fase 3: Perencanaan Eksekusi – Bagaimana Kita Sampai di Sana?

Sebuah strategi yang brilian tidak akan ada artinya tanpa eksekusi yang disiplin dan terencana. Fase ini menerjemahkan tujuan-tujuan strategis yang telah ditetapkan menjadi serangkaian tindakan nyata yang terorganisir, terukur, dan memiliki penanggung jawab yang jelas.

4.1. Peta Jalan Inisiatif (McKinsey's Three Horizons of Growth)

Untuk memastikan keseimbangan antara perbaikan jangka pendek, pembangunan kapasitas jangka menengah, dan inovasi jangka panjang, inisiatif-inisiatif strategis akan dipetakan ke dalam Tiga Horison Pertumbuhan McKinsey. Pendekatan ini membantu gereja untuk tidak hanya fokus pada "memadamkan api" hari ini, tetapi juga secara sadar menabur benih untuk masa depan.

  • Horison 1: Mempertahankan dan Memperkuat Inti (Tahun 2025-2026)
    Inisiatif dalam horison ini berfokus pada optimalisasi dan perbaikan fundamental terhadap apa yang sudah ada. Ini adalah fondasi yang harus kokoh sebelum membangun sesuatu yang baru.
  • Inisiatif 1.1: Finalisasi dan Sosialisasi Tata Dasar GPI. Ini adalah prioritas utama. Membentuk tim perumus lintas-GBM untuk menyelesaikan draf, mengesahkannya di SSA 2025, dan melakukan sosialisasi masif ke seluruh aras pelayanan.
  • Inisiatif 1.2: Standardisasi Kurikulum Pembinaan Dasar. Mengembangkan paket kurikulum inti untuk Katekisasi Sidi, Bina Pranikah, dan Sekolah Minggu yang dapat diadaptasi oleh setiap GBM sesuai konteksnya. Tujuannya adalah memastikan ada pemahaman teologis dasar yang seragam di seluruh GPI.
  • Inisiatif 1.3: Revitalisasi Ibadah dan Musik Gerejawi. Mengadakan lokakarya dan menyediakan sumber daya untuk membantu jemaat-jemaat merevitalisasi tata ibadah agar lebih partisipatif dan relevan, tanpa meninggalkan akar teologi Reformed.
  • Inisiatif 1.4: Efisiensi Administrasi Sinodal. Melakukan audit proses kerja di kantor Sinode Am dan sinode-sinode GBM untuk mengidentifikasi inefisiensi dan memulai langkah-langkah perbaikan, termasuk digitalisasi administrasi dasar (surat-menyurat, pengarsipan).
  • Inisiatif 1.5: Inventarisasi Aset Sinodal. Melakukan pendataan dan verifikasi legalitas seluruh aset tidak bergerak (tanah, bangunan) yang berada di bawah pengelolaan Sinode Am GPI.
  • Horison 2: Membangun Peluang Pertumbuhan Baru (Tahun 2026-2028)
    Inisiatif dalam horison ini berfokus pada penciptaan sumber-sumber pertumbuhan dan pelayanan baru yang dibangun di atas fondasi Horison 1.
  • Inisiatif 2.1: Peluncuran Platform E-Learning "Akademi GPI". Mengembangkan dan meluncurkan platform pembelajaran daring yang menawarkan kursus-kursus teologi praktis, manajemen, dan kepemimpinan untuk pendeta dan jemaat awam di seluruh Indonesia.66
  • Inisiatif 2.2: Pembentukan Badan Pengembangan Ekonomi (BPE) Sinode Am. Mendirikan badan khusus yang bertugas mengelola aset-aset sinodal secara produktif dan merintis pendirian unit usaha sosial gereja (social enterprise).67 Contoh: pengelolaan wisma/retreat center, penerbitan, atau agribisnis di lahan milik gereja.
  • Inisiatif 2.3: Program Advokasi Kebijakan Publik Bersama. Membentuk tim advokasi lintas-GBM yang fokus pada isu-isu strategis seperti kebebasan beragama, keadilan agraria, dan perlindungan lingkungan, untuk menyuarakan suara kenabian gereja secara terkoordinasi di tingkat nasional.
  • Inisiatif 2.4: Program Oikoumene Antar-GBM. Menginisiasi program pertukaran pelayan (pendeta, pemuda) dan proyek diakonia bersama antar-GBM di wilayah-wilayah perbatasan atau daerah tertinggal untuk memperkuat rasa persaudaraan secara nyata.69
  • Horison 3: Menciptakan Opsi Masa Depan (Tahun 2028-2030)
    Inisiatif dalam horison ini bersifat eksplorasi dan eksperimental, dirancang untuk mempersiapkan gereja menghadapi tantangan dan peluang yang mungkin belum sepenuhnya terlihat hari ini.
  • Inisiatif 3.1: Proyek Percontohan Gereja Hibrida. Merintis model gereja baru yang sepenuhnya hibrida (komunitas fisik yang kecil dan kuat, dengan jangkauan digital yang luas) di kawasan urban baru atau di antara diaspora Indonesia di luar negeri, sebagai eksperimen untuk menjangkau segmen masyarakat yang tidak terlayani oleh model gereja tradisional.
  • Inisiatif 3.2: Pembentukan Komisi Teologi Ad-Hoc "GPI 2045". Membentuk sebuah gugus tugas yang terdiri dari teolog, ilmuwan, dan praktisi muda untuk mengkaji dan merumuskan panduan teologis awal mengenai isu-isu masa depan seperti kecerdasan buatan (AI), bioetika, dan masa depan kerja.
  • Inisiatif 3.3: Eksplorasi Model Misi "Co-opetition". Menjajaki kemungkinan kerjasama strategis (co-opetition) dengan sinode-sinode besar di luar lingkup GPI (misalnya HKBP, Gereja Toraja) dalam proyek-proyek misi berskala besar di tingkat nasional atau internasional, di mana masing-masing pihak membawa kekuatannya untuk mencapai tujuan bersama yang lebih besar.

4.2. Usulan Arsitektur Organisasi: Dari Struktur Hierarkis ke Platform Fasilitasi

Untuk mengeksekusi Peta Jalan Inisiatif yang ambisius, diperlukan sebuah arsitektur organisasi yang tepat. Struktur yang ada saat ini, yang berisiko dipersepsikan sebagai sisa-sisa model hierarkis, perlu ditransformasi menjadi struktur yang lebih gesit (Agile), fungsional, dan benar-benar melayani. Peran Sinode Am harus bergeser dari pengawas menjadi fasilitator. Prinsip dasarnya adalah form follows function—bentuk organisasi harus dirancang untuk menjalankan fungsi strategisnya secara efektif.

Prinsip-Prinsip Perancangan Struktur Baru:

  • Fokus pada Nilai Tambah: Struktur harus menjawab pertanyaan, "Nilai tambah unik apa yang bisa diberikan Sinode Am bagi GBM?"
  • Prinsip Subsidiaritas: Sinode Am hanya mengerjakan hal-hal yang tidak dapat atau tidak efektif jika dikerjakan sendiri-sendiri oleh GBM.
  • Gesit dan Adaptif (Agile): Struktur harus fleksibel, memungkinkan pembentukan tim lintas fungsi berbasis proyek.
  • Berbasis Kecerdasan Kolektif: Struktur harus menjadi platform untuk menghimpun keahlian dari ke-12 GBM.

Berikut adalah dua konsep struktur yang dapat dipertimbangkan atau dikombinasikan:

KONSEP 1: STRUKTUR "PUSAT UNGGULAN" (CENTER OF EXCELLENCE)

Filosofi ini mengubah Sinode Am dari badan administratif menjadi sebuah pusat layanan dan keahlian bersama bagi ke-12 GBM.

Bagan Konsep 1:

  • Struktur Inti:
  1. Badan Pekerja Majelis Sinode Am (BPMS Am): Fungsinya dipertajam menjadi Dewan Strategis (Strategic Board). Tugas utamanya adalah menetapkan visi, alokasi sumber daya, diplomasi tingkat tinggi, dan pengawasan kinerja. Personelnya ramping, terdiri dari individu visioner.
  2. Pusat-Pusat Unggulan: Ini adalah "mesin" eksekusi program, menggantikan komisi-komisi tradisional. Setiap pusat dipimpin oleh seorang direktur profesional dan diisi oleh staf ahli (bisa permanen atau diperbantukan dari GBM). Contoh:
  • Pusat Kajian Teologi & Inovasi Digital: Mengembangkan materi pembinaan digital, platform e-learning, dan kajian teologis kontekstual.
  • Pusat Advokasi Keadilan & Integritas Ciptaan: Menjadi motor penggerak untuk isu HAM, keadilan sosial, dan program ekologi berskala nasional.
  • Pusat Pengembangan Kapasitas Organisasi & Kepemimpinan: Menyelenggarakan pelatihan manajemen gereja modern, suksesi kepemimpinan, dan tata kelola keuangan.

KONSEP 2: STRUKTUR "GUGUS TUGAS AGILE" (AGILE TASK FORCE)

Filosofi ini menekankan fleksibilitas maksimum dan kolaborasi berbasis proyek.

Bagan Konsep 1:

  • Struktur Inti:
  1. Badan Pekerja Majelis Sinode Am (BPMS Am): Berperan sebagai "Manajer Portofolio Strategis". Tugasnya adalah mengidentifikasi prioritas, membentuk gugus tugas, mengalokasikan dana awal, dan memonitor hasilnya.
  2. Gugus Tugas Strategis: Tim lintas fungsi yang dibentuk untuk jangka waktu tertentu (misal: 1-2 tahun) untuk mencapai satu tujuan spesifik. Keanggotaannya terdiri dari staf inti Sinode Am (sebagai fasilitator) dan personel ahli yang diperbantukan dari berbagai GBM. Ini menciptakan kepemilikan bersama yang kuat. Contoh:
  • Gugus Tugas Platform Digital GPI 2026.
  • Gugus Tugas Respon Krisis Iklim.
  • Gugus Tugas Persiapan SSA 2030.

Mekanisme Integrasi Fungsional:

Kedua konsep di atas memerlukan "lem perekat" berupa mekanisme integrasi yang kuat:

  1. Dewan Kemitraan Sinodal (Synodal Partnership Council): Forum tahunan yang terdiri dari pimpinan BPMS Am dan satu perwakilan resmi dari setiap GBM untuk melakukan perencanaan strategis bersama dan menyepakati skema pendanaan program.
  2. Skema Pendanaan Kolaboratif: Mengganti model "iuran" dengan model "investasi bersama". Anggaran dibagi menjadi (1) Anggaran Operasional Inti (kontribusi tetap) dan (2) Anggaran Program Strategis (kontribusi berbasis proyek yang diminati GBM).
  3. Platform Digital Kolaboratif: Infrastruktur vital berupa portal online eksklusif untuk para pemimpin dan staf di 12 GBM dan Sinode Am, berfungsi sebagai ruang kerja virtual persekutuan.
  4. Program Pertukaran Staf dan Kepemimpinan: Fasilitasi pertukaran staf ahli antar-GBM untuk periode tertentu guna memperkuat kapasitas bersama dan rasa persaudaraan.

4.3. Tata Kelola Implementasi (Implementation Governance)

Untuk memastikan Peta Jalan Inisiatif dapat dieksekusi dengan baik, diperlukan sebuah struktur tata kelola yang jelas, mengadopsi pendekatan dari KPMG yang kuat dalam aspek governance dan akuntabilitas.

  • Dewan Pengarah Strategi (Strategic Steering Committee): Ini adalah badan pengawas tertinggi untuk implementasi Renstra.
  • Keanggotaan: Terdiri dari seluruh Badan Pengurus Harian (BPH) Sinode Am GPI dan 5-7 perwakilan Ketua Sinode GBM (dipilih untuk mewakili regional dan ukuran GBM).
  • Tugas: Bertemu setiap triwulan untuk meninjau kemajuan pencapaian OKR, mengatasi hambatan-hambatan strategis, dan memastikan alokasi sumber daya tetap sejalan dengan prioritas.
  • Penanggung Jawab Pilar (Pillar Champions):
  • Peran: Setiap pilar strategis (ada 4 pilar) akan memiliki seorang "Champion" yang ditunjuk dari anggota BPH Sinode Am.
  • Tugas: Champion bukanlah eksekutor tunggal, melainkan fasilitator dan advokat utama untuk pilarnya. Mereka bertanggung jawab untuk memastikan semua inisiatif di bawah pilarnya berjalan, berkoordinasi dengan Tim Pelaksana, dan melaporkan kemajuannya kepada Dewan Pengarah.
  • Tim Pelaksana Inisiatif (Initiative Teams):
  • Struktur: Untuk setiap inisiatif utama (misalnya, "Peluncuran Akademi GPI"), akan dibentuk tim kerja lintas-fungsi dan lintas-GBM.
  • Keanggotaan: Terdiri dari individu-individu (pendeta maupun awam) dari berbagai GBM yang memiliki keahlian relevan. Ini penting untuk membangun rasa kepemilikan bersama (shared ownership).
  • Tugas: Merencanakan secara detail, melaksanakan, dan melaporkan kemajuan inisiatif spesifik mereka kepada Pillar Champion yang relevan.
  • Matriks RACI (RACI Chart):
  • Untuk setiap inisiatif, akan dibuat matriks RACI untuk memperjelas peran dan tanggung jawab, menghindari kebingungan dan tumpang tindih yang sering terjadi dalam struktur federasi. RACI adalah singkatan dari:
  • Responsible: Pihak yang melakukan pekerjaan.
  • Accountable: Pihak yang paling bertanggung jawab atas keberhasilan inisiatif (biasanya hanya satu orang, yaitu Pillar Champion).
  • Consulted: Pihak yang perlu dimintai masukan sebelum keputusan dibuat.
  • Informed: Pihak yang perlu diberi informasi mengenai kemajuan atau keputusan.
  • Contoh RACI untuk Inisiatif "Finalisasi Tata Dasar GPI":
  • Responsible: Tim Perumus Tata Dasar (terdiri dari perwakilan teolog dan ahli hukum dari berbagai GBM).
  • Accountable: Pillar Champion Pilar 1 (Revitalisasi Spiritualitas & Keesaan).
  • Consulted: Seluruh Ketua Sinode GBM, Badan Penasihat Sinode Am.
  • Informed: Seluruh jemaat melalui media komunikasi gereja.

4.4. Manajemen Perubahan dan Komunikasi (Change Management & Communication)

Implementasi rencana strategis yang ambisius ini pada hakikatnya adalah sebuah proses manajemen perubahan. Perubahan seringkali menimbulkan resistensi, kesalahpahaman, atau apatisme. Oleh karena itu, diperlukan sebuah rencana komunikasi yang sistematis, transparan, dan inspiratif untuk mendapatkan dukungan (buy-in) dari seluruh aras pelayanan.

  • Tujuan Komunikasi:
  1. Membangun pemahaman yang sama tentang urgensi dan arah perubahan.
  2. Menggalang dukungan dan partisipasi aktif dari pimpinan dan warga jemaat di 12 GBM.
  3. Mengelola ekspektasi dan mengatasi potensi resistensi secara proaktif.
  4. Merayakan keberhasilan-keberhasilan kecil (small wins) untuk menjaga momentum.
  • Pesan Kunci (Key Messages):
  • "Memperkuat Persekutuan, Bukan Melemahkan Otonomi": Pesan ini harus diulang terus-menerus. Tekankan bahwa Renstra ini bertujuan untuk memperjelas dan memperkaya peran Sinode Am sebagai fasilitator, bukan untuk mengambil alih wewenang GBM.
  • "Dari Warisan Menuju Warisan Baru": Menghubungkan rencana masa depan dengan akar sejarah GPI yang kaya, menunjukkan bahwa ini adalah evolusi, bukan revolusi yang tercerabut dari akarnya.
  • "Bersama Kita Lebih Kuat": Menekankan manfaat kolaborasi dalam menghadapi tantangan bersama yang tidak bisa diatasi oleh satu GBM sendirian (misalnya, advokasi nasional, transformasi digital berskala besar).
  • Saluran dan Audiens:
  • Pimpinan Sinode GBM (Audiens Primer): Komunikasi intensif melalui Sidang Sinode Am, Sidang Majelis Sinode Am, pertemuan khusus para ketua sinode, dan laporan berkala yang transparan.
  • Pendeta dan Pelayan Khusus (Audiens Sekunder): Sosialisasi melalui konferensi pendeta, materi-materi yang didistribusikan melalui sinode GBM, dan modul-modul di Akademi GPI.
  • Warga Jemaat (Audiens Tersier): Komunikasi melalui media-media sinodal dan jemaat (warta jemaat, website, media sosial), serta khotbah-khotbah yang menggemakan visi dan misi baru.
  • Tahapan Komunikasi:
  1. Pra-SSA 2025: Sosialisasi draf Renstra untuk mendapatkan masukan awal.
  2. Saat SSA 2025: Pembahasan dan pengesahan Renstra sebagai agenda utama.
  3. Pasca-SSA 2025 (Tahun Pertama): Kampanye komunikasi masif tentang Visi, Misi, dan Pilar-Pilar Strategis yang baru.
  4. Berkelanjutan (Tahun 2-5): Komunikasi rutin mengenai kemajuan OKR dan cerita-cerita sukses dari implementasi inisiatif untuk menjaga semangat dan akuntabilitas.

Fase 4: Pengukuran dan Adaptasi – Bagaimana Kita Melacak dan Menyesuaikan?

Rencana strategis bukanlah dokumen statis yang dibuat sekali setiap lima tahun, melainkan sebuah organisme hidup yang perlu terus dipantau, diukur, dan disesuaikan. Fase ini memastikan bahwa rencana tersebut tetap relevan, efektif, dan terus membaik seiring berjalannya waktu.

5.1. Kerangka Pengukuran Kinerja (Performance Measurement Framework)

Untuk mendapatkan gambaran yang holistik tentang kinerja organisasi, diusulkan penggunaan kerangka Balanced Scorecard (BSC) yang telah diadaptasi untuk konteks gereja. BSC melihat kinerja tidak hanya dari sisi keuangan, tetapi dari empat perspektif yang saling berhubungan.

  • 1. Perspektif Jemaat & Pemangku Kepentingan (Congregation & Stakeholder Perspective)
  • Pertanyaan Kunci: Bagaimana jemaat, GBM, dan masyarakat memandang kita?
  • Ukuran Kinerja (Metrics):
  • Tingkat Pertumbuhan Jemaat: Pertumbuhan bersih (baptisan dikurangi atestasi keluar/meninggal) di seluruh lingkup GPI.
  • Indeks Keterlibatan Jemaat: Persentase partisipasi jemaat (khususnya pemuda dan keluarga muda) dalam ibadah dan kegiatan pembinaan.
  • Indeks Kepuasan GBM: Skor kepuasan tahunan dari pimpinan GBM terhadap kualitas pelayanan dan fasilitasi dari Sinode Am.
  • Dampak Program Diakonia: Jumlah penerima manfaat dari program pemberdayaan ekonomi atau advokasi sosial.
  • Persepsi Publik: Analisis sentimen media terhadap GPI sebagai suara moral di tingkat nasional.
  • 2. Perspektif Penatalayanan & Keuangan (Stewardship & Financial Perspective)
  • Pertanyaan Kunci: Seberapa baik kita mengelola sumber daya yang Tuhan percayakan?
  • Ukuran Kinerja (Metrics):
  • Kesehatan Anggaran: Realisasi anggaran dibandingkan dengan rencana (tingkat penyerapan dan efisiensi).
  • Pertumbuhan Persembahan: Pertumbuhan total persembahan per kapita di seluruh GBM.
  • Diversifikasi Pendapatan: Persentase pendapatan Sinode Am yang berasal dari sumber di luar iuran GBM (misalnya, hasil usaha BPE).
  • Imbal Hasil Aset: Tingkat imbal hasil (return on assets) dari pengelolaan aset-aset sinodal yang produktif.
  • Transparansi Keuangan: Persentase GBM dan Sinode Am yang mempublikasikan laporan keuangan yang diaudit.
  • 3. Perspektif Proses Internal (Internal Process Perspective)
  • Pertanyaan Kunci: Proses-proses apa yang harus kita kuasai agar dapat melayani dengan unggul?
  • Ukuran Kinerja (Metrics):
  • Efisiensi Pengambilan Keputusan: Rata-rata waktu yang dibutuhkan dari identifikasi masalah hingga pengambilan keputusan di tingkat sinodal.
  • Tingkat Kolaborasi Antar-GBM: Jumlah program atau inisiatif yang berhasil dilaksanakan secara bersama-sama oleh dua atau lebih GBM.
  • Tingkat Digitalisasi Layanan: Persentase layanan administrasi (misalnya, pendaftaran, pelaporan) yang sudah dapat dilakukan secara digital.
  • Efektivitas Pembinaan: Jumlah pelayan yang mengikuti dan menyelesaikan program pelatihan di Akademi GPI.
  • Siklus Inovasi: Jumlah ide pelayanan baru yang berhasil diinkubasi dan diluncurkan setiap tahun.
  • 4. Perspektif Pembelajaran & Pertumbuhan (Learning & Growth Perspective)
  • Pertanyaan Kunci: Bagaimana kita mempertahankan dan meningkatkan kemampuan untuk berubah dan berkembang?
  • Ukuran Kinerja (Metrics):
  • Peningkatan Kompetensi Pelayan: Skor rata-rata peningkatan kompetensi (berdasarkan asesmen sebelum dan sesudah) bagi peserta pelatihan.
  • Kesehatan Suksesi Kepemimpinan: Persentase posisi kepemimpinan kunci yang memiliki minimal dua kandidat internal yang siap menggantikan.
  • Budaya Inovasi: Jumlah usulan inovasi yang masuk dari jemaat atau pelayan melalui platform yang disediakan.
  • Kesejahteraan Pelayan: Indeks kepuasan kerja dan tingkat burnout di kalangan pendeta.
  • Kapasitas Riset dan Pengembangan: Jumlah kajian atau riset teologis-kontekstual yang dihasilkan oleh komisi-komisi GPI.

5.2. Irama Tinjauan dan Adaptasi (Review and Adaptation Cadence)

Untuk membuat Balanced Scorecard dan OKR menjadi alat manajemen yang hidup, perlu diciptakan sebuah ritme atau irama pertemuan yang teratur untuk melakukan tinjauan dan adaptasi.

  • Tinjauan Kinerja Triwulanan (Quarterly Performance Review - QPR):
  • Peserta: Dewan Pengarah Strategi dan para Penanggung Jawab Pilar (Pillar Champions).
  • Fokus: Tinjauan taktis terhadap kemajuan pencapaian OKR untuk kuartal yang baru berlalu. Fokusnya adalah pada eksekusi: Apa yang berjalan baik? Apa yang terhambat? Apa yang perlu kita lakukan dalam 90 hari ke depan untuk mengatasi hambatan dan mempercepat kemajuan?
  • Output: Keputusan-keputusan jangka pendek dan penyesuaian rencana kerja untuk kuartal berikutnya.
  • Tinjauan Strategis Tahunan (Annual Strategy Review - ASR):
  • Forum: Sidang Majelis Sinode Am (SMSA) tahunan.
  • Peserta: Seluruh anggota SMSA, termasuk perwakilan dari semua GBM.
  • Fokus: Tinjauan strategis yang lebih mendalam. Forum ini tidak hanya melihat "apakah kita melakukan hal-hal dengan benar?" (efisiensi), tetapi juga "apakah kita masih melakukan hal-hal yang benar?" (efektivitas). Pertanyaan yang digumuli antara lain: Apakah asumsi-asumsi dalam analisis PESTLE kita masih valid? Apakah pilar-pilar strategis kita masih relevan dengan tantangan terbaru? Apakah ada peluang atau ancaman baru yang perlu direspons?
  • Output: Penyesuaian terhadap prioritas strategis, realokasi anggaran untuk tahun berikutnya, dan jika perlu, revisi terhadap beberapa OKR atau inisiatif. Ini adalah wujud nyata dari semangat "menguji segala sesuatu" setiap tahunnya.
  • Evaluasi Menyeluruh Pra-Sidang Sinode Am (Comprehensive Pre-SSA Evaluation):
  • Waktu: Dilaksanakan pada tahun keempat dari siklus lima tahunan (misalnya, pada tahun 2029 untuk Renstra 2025-2030).
  • Tujuan: Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pencapaian dan dampak dari Rencana Strategis selama empat tahun berjalan.
  • Proses: Melibatkan survei mendalam ke seluruh GBM, wawancara dengan para pemangku kepentingan, dan analisis data kinerja selama empat tahun.
  • Output: Sebuah "Laporan Evaluasi Strategis" yang komprehensif, yang akan menjadi bahan masukan utama bagi tim perumus untuk menyusun draf Rencana Strategis periode berikutnya yang akan dibahas dan disahkan dalam Sidang Sinode Am 2030.

Dengan siklus tinjauan yang teratur ini, Rencana Strategis GPI akan menjadi sebuah proses yang dinamis, adaptif, dan terus belajar, memastikan bahwa gereja tidak hanya memiliki peta jalan, tetapi juga kemampuan untuk menavigasi perjalanan dengan bijaksana di tengah dunia yang terus berubah.

Bagian III: Rekomendasi Strategis dan Langkah Selanjutnya

Berdasarkan analisis komprehensif yang telah dipaparkan, bagian akhir dari laporan ini merumuskan serangkaian rekomendasi strategis yang ditujukan bagi Sinode Am GPI dan Gereja-Gereja Bagian Mandiri (GBM). Rekomendasi ini dirancang untuk menjadi panduan konkret dalam melangkah maju, diikuti dengan sebuah panggilan untuk bertindak bersama menyongsong Sidang Sinode Am 2025.

6.1. Rekomendasi Kunci untuk Sinode Am GPI

Peran Sinode Am GPI di masa depan tidak lagi dapat bertumpu pada model hierarkis warisan masa lalu. Untuk menjadi relevan dan efektif, Sinode Am harus secara sadar dan radikal mentransformasikan perannya.

  1. Prioritaskan Klarifikasi Peran dan Penambahan Nilai (Role Clarification and Value Addition): Fokus utama Sinode Am harus bergeser dari lembaga yang berpotensi dilihat sebagai "birokrasi" atau "pengawas" menjadi fasilitator, inkubator, dan penjaga api keesaan. Sinode Am harus secara proaktif bertanya, "Nilai tambah unik apa yang bisa kami berikan kepada GBM yang tidak bisa mereka peroleh dari PGI atau lakukan sendiri?" Jawabannya terletak pada fungsi-fungsi seperti memfasilitasi kolaborasi lintas-GBM, menginkubasi inovasi untuk pelayanan (seperti Akademi Digital atau BPE), dan menjadi kustodian memori historis bersama.
  2. Jadikan Penyelesaian Tata Dasar sebagai Prioritas Utama: Ambiguitas struktural adalah akar dari banyak potensi konflik. Oleh karena itu, SSA 2025 harus memprioritaskan pembahasan, penyempurnaan, dan pengesahan Tata Dasar GPI yang baru. Dokumen ini harus secara eksplisit, adil, dan transparan mendefinisikan:
  • Hakikat "persekutuan penuh".
  • Wewenang, hak, dan kewajiban Sinode Am.
  • Otonomi, hak, dan kewajiban GBM.
  • Mekanisme pengambilan keputusan bersama dan penyelesaian sengketa.
    Tanpa fondasi hukum dan organisasional yang kokoh ini, rencana strategis sebagus apapun akan sulit diimplementasikan.
  1. Investasi pada Kapasitas Fasilitasi: Sinode Am perlu membangun kapasitas internalnya untuk menjalankan peran fasilitator. Ini berarti merekrut atau melatih staf yang memiliki keahlian dalam manajemen proyek, fasilitasi dialog, mediasi konflik, dan pengembangan kemitraan, bukan hanya administrasi gerejawi tradisional.

6.2. Rekomendasi Kunci untuk Gereja Bagian Mandiri (GBM)

Keberhasilan Rencana Strategis ini sangat bergantung pada perubahan paradigma dan komitmen dari seluruh GBM sebagai mitra yang setara.

  1. Adopsi Paradigma Kolaborasi Strategis: Pimpinan GBM diundang untuk melihat Sinode Am GPI bukan sebagai "beban" (misalnya, terkait iuran) atau "pesaing" (misalnya, dalam relasi dengan PGI), melainkan sebagai platform kolaborasi strategis yang unik. Ada isu-isu (seperti advokasi kebijakan nasional, riset teologi mendalam, atau pengembangan platform teknologi berskala besar) yang lebih efektif dan efisien jika dikerjakan bersama melalui wadah GPI.
  2. Berpartisipasi Aktif dan Membangun Kepemilikan Bersama: Keberhasilan inisiatif-inisiatif seperti Tim Perumus Tata Dasar, Tim Pengembangan Akademi GPI, atau Tim Advokasi Bersama sangat bergantung pada partisipasi aktif dari para ahli dan praktisi terbaik dari setiap GBM. Keterlibatan ini akan membangun rasa kepemilikan bersama (shared ownership) atas Rencana Strategis dan memastikan bahwa hasilnya benar-benar relevan dan menjawab kebutuhan kontekstual setiap anggota persekutuan.
  3. Mendukung Prinsip Subsidiaritas dan Solidaritas: GBM yang lebih besar dan mapan sumber dayanya diharapkan dapat menjadi motor penggerak dalam semangat solidaritas, misalnya melalui dukungan terhadap Dana Solidaritas Diakonia atau dengan berbagi sumber daya pembinaan dengan GBM yang lebih kecil. Prinsip subsidiaritas—di mana keputusan diambil pada tingkat yang paling efektif—harus dihormati, namun harus diimbangi dengan semangat solidaritas untuk menopang seluruh tubuh Kristus.

6.3. Panggilan untuk Bertindak: Menyongsong Sidang Sinode Am 2025 dengan Keyakinan dan Arah yang Jelas

Gereja Protestan di Indonesia berdiri di persimpangan jalan yang bersejarah. Era disrupsi yang ditandai oleh perubahan teknologi yang eksponensial, pergeseran sosial yang cepat, tantangan ekonomi, dan dinamika politik yang kompleks, bukanlah ancaman yang harus ditakuti, melainkan sebuah panggilan kenabian. Panggilan untuk, sebagaimana tema Sidang Sinode Am 2025, secara jeli dan berani "menguji segala sesuatu dan memegang yang baik."

Laporan strategis ini telah membedah secara jujur dan mendalam di mana GPI berada saat ini—dengan segala kekuatan warisan historisnya dan kelemahan strukturalnya. Laporan ini juga telah memetakan ke mana GPI dapat melangkah—dengan visi yang diteguhkan, pilar-pilar yang kokoh, dan peta jalan yang jelas. Namun, sebuah peta, betapapun akuratnya, tidak akan ada artinya jika tidak ada keberanian untuk memulai perjalanan.

Oleh karena itu, seluruh pimpinan Sinode Am GPI dan ke-12 Gereja Bagian Mandiri dipanggil untuk melihat Sidang Sinode Am 2025 bukan sekadar sebagai agenda rutin lima tahunan atau forum untuk membahas program kerja semata. Lebih dari itu, ini adalah sebuah momen kairos—waktu Tuhan yang tepat—untuk melakukan hal-hal fundamental:

  • Untuk Berekonsiliasi: Menyelesaikan ambiguitas masa lalu dan membangun rekonsiliasi atas ketegangan-ketegangan yang ada dengan mendefinisikan ulang perjanjian keesaan secara jujur dan adil.
  • Untuk Memperbarui: Memperbarui cara pandang, struktur, dan sistem agar gereja menjadi lebih lincah, adaptif, dan relevan dalam menjawab panggilan Tuhan di abad ke-21.
  • Untuk Bergerak Bersama: Mengambil komitmen baru untuk berjalan bersama dalam persekutuan yang fungsional, di mana setiap anggota saling memperkaya dan menopang, demi kesaksian yang lebih kuat bagi bangsa dan dunia.

Dengan berpegang pada filosofi "Purpose-Led Strategy, Faith-Driven Execution", marilah seluruh keluarga besar Gereja Protestan di Indonesia melangkah memasuki Sidang Sinode Am 2025 dengan keyakinan, harapan, dan arah yang jelas, seraya bersandar sepenuhnya pada pimpinan Yesus Kristus, Kepala Gereja, yang adalah Yang Awal dan Yang Akhir. Soli Deo Gloria.


Daftar Pustaka

  1. Sejarah - Sinode Am Gereja Protestan di Indonesia, diakses Juni 25, 2025, https://sinodeamgpi.id/sejarah/
  2. Penatalayan dan Kemandirian Gereja (Suatu studi tentang peranan penatalayanan gereja di dalam usaha pencapaian kemandirian gerej, diakses Juni 25, 2025, https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6879/3/T1_712008038_BAB%20III.pdf
  3. Prosiding Studi Institut Eklesiologi GPI - Repository STFT Jakarta, diakses Juni 25, 2025, https://repository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2023/04/Percakapan-Mengenai-Eklesiologi-GPI-Prosiding-1.pdf
  4. Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia | PDF - Scribd, diakses Juni 25, 2025, https://id.scribd.com/doc/45289139/Sejarah-Gereja-Protestan-Di-Indonesia
  5. Untitled - Repository STFT Jakarta, diakses Juni 25, 2025, https://repository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/08/Webinar-GPI-23-Juni-2021-Dokumen.pdf
  6. Tentang Kami - Sinode Am Gereja Protestan di Indonesia, diakses Juni 25, 2025, https://sinodeamgpi.id/tentang-kami/
  7. Tentang GPIB - GPIB Marga Mulya Yogyakarta, diakses Juni 25, 2025, https://gpibmargamulya.or.id/tentang-gpib/
  8. Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 25, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Protestan_Indonesia_di_Gorontalo
  9. Gereja Protestan di Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 25, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Protestan_di_Indonesia
  10. Tata Gereja GPIB 2021-2026 | PDF - Scribd, diakses Juni 25, 2025, https://id.scribd.com/document/634286736/Tata-Gereja-GPIB-2021-2026
  11. Draf Tim TG Plus Komentar - Naskah Revisi Tata Gereja GPIG - Sidang Sinode Istimewa 24-27 Oktober, diakses Juni 25, 2025, https://id.scribd.com/document/695257328/Draf-Tim-TG-Plus-Komentar-Naskah-Revisi-Tata-Gereja-GPIG-Sidang-Sinode-Istimewa-24-27-Oktober
  12. Tata Gereja GPM | PDF - Scribd, diakses Juni 25, 2025, https://id.scribd.com/document/508291350/TATA-GEREJA-GPM
  13. Sinode Am Gereja Protestan di Indonesia, diakses Juni 25, 2025, https://sinodeamgpi.id/
  14. diakses Januari 1, 1970, https.sinodeamgpi.id/
  15. Tata Gereja 2013 | PDF - Scribd, diakses Juni 25, 2025, https://id.scribd.com/document/580178618/Tata-Gereja-2013
  16. agama & budaya nusantara pasca kristenisasi - Sinode GPM, diakses Juni 25, 2025, https://sinodegpm.id/public/deploy/pdf/1678114790_516479820203f90555d7.pdf
  17. Sidang Sinode Am GPI Minta GMIM Hentikan Ekspansi Wilayah Pelayanannya - Arcus GPIB, diakses Juni 25, 2025, https://arcusgpib.com/sidang-sinode-am-gpi-minta-gmim-hentikan-ekspansi-wilayah-pelayanannya/
  18. Sinode Gereja Anggota PGI, diakses Juni 25, 2025, https://pgi.or.id/sinode-gereja-anggota-pgi/
  19. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 25, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-Gereja_di_Indonesia
  20. Sinode Gereja Bagian Mandiri – Sinode Am Gereja Protestan di ..., diakses Juni 25, 2025, https://sinodeamgpi.id/sinode-gereja-bagian-mandiri/
  21. Daftar Gereja Gereja Anggota Pgi | PDF - Scribd, diakses Juni 25, 2025, https://fr.scribd.com/document/437917718/Daftar-Gereja-Gereja-Anggota-Pgi
  22. Protestant Church in Indonesia - World Council of Churches, diakses Juni 25, 2025, https://www.oikoumene.org/member-churches/protestant-church-in-indonesia
  23. Protestant Church in Western Indonesia | World Council of Churches, diakses Juni 25, 2025, https://www.oikoumene.org/member-churches/protestant-church-in-western-indonesia
  24. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) | - GKA Gloria, diakses Juni 25, 2025, https://gkagloria.id/pgi/
  25. Communion of Churches in Indonesia - Wikipedia, diakses Juni 25, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Communion_of_Churches_in_Indonesia
  26. Dokumen Keesaan Gereja-Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia 2019-2024 - PGI, diakses Juni 25, 2025, https://pgi.or.id/wp-content/uploads/2021/03/Dokumen-Keesaan-Gereja-Persekutuan-Gereja-Gereja-di-Indonesia-2019-2024-2.pdf
  27. Polarisasi Politik Indonesia Tahun 2024 dalam Pemberitaan Media Online, diakses Juni 25, 2025, https://ifrelresearch.org/index.php/harmoni-widyakarya/article/download/4869/4991/21352
  28. Anggota DPR: Stabilitas politik usai pemilu buat ekonomi lebih baik - ANTARA News, diakses Juni 25, 2025, https://www.antaranews.com/berita/4093629/anggota-dpr-stabilitas-politik-usai-pemilu-buat-ekonomi-lebih-baik
  29. PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2024 tentang PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI, diakses Juni 25, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Download/357237/2024-Permenag%20nomor%208%20Tahun%202024.pdf
  30. peraturan menteri agama republik indonesia nomor 24 tahun 2024 tentang organisasi dan tata kerja, diakses Juni 25, 2025, https://cdn.kemenag.go.id/storage/archives/pma-no-24-tahun-2024-tentang-organisasi-dan-tata-kerja-kantor-urusan-agamapdf.pdf
  31. Ini Lima Isu Penting Terkait Kehidupan Keagamaan - Kementerian Agama RI, diakses Juni 25, 2025, https://kemenag.go.id/nasional/ini-lima-isu-penting-terkait-kehidupan-keagamaan-ohz6hm
  32. Mewujudkan Toleransi Kerukunan Umat Beragama (IS Kom VIII MEI 2 2024) - DPR RI, diakses Juni 25, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/isu_sepekan/Isu%20Sepekan---II-PUSLIT-Mei-2024-214.pdf
  33. BI-Rate Turun 25 bps Menjadi 5,50%: Mempertahankan Stabilitas, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, diakses Juni 25, 2025, https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news-release/Pages/sp_2711125.aspx
  34. Indikator - Bank Indonesia, diakses Juni 25, 2025, https://www.bi.go.id/id/statistik/indikator/data-inflasi.aspx
  35. West Sulawesi Economy Grows 4.83 Percent in Q1-2025, Driven by Agriculture Sector - News and Press Release, diakses Juni 25, 2025, https://sulbar.bps.go.id/en/news/2025/05/05/400/ekonomi-sulbar-tumbuh-4-83-persen-di-triwulan-i-2025--didorong-sektor-pertanian.html
  36. Ada 64,22 Juta Pemuda di Indonesia pada 2024, Ini Persentase Sedekade - Databoks, diakses Juni 25, 2025, https://databoks.katadata.co.id/demografi/statistik/677f2f9f3d221/ada-6422-juta-pemuda-di-indonesia-pada-2024-ini-persentase-sedekade
  37. Pemerintahan Prabowo dan Tantangan Ketidakadilan Sosial yang Kian Kompleks, diakses Juni 25, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2024/09/26/10013101/pemerintahan-prabowo-dan-tantangan-ketidakadilan-sosial-yang-kian-kompleks
  38. Pemerintah Kerja Keras Untuk Wujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, diakses Juni 25, 2025, https://kemenkopmk.go.id/pemerintah-kerja-keras-untuk-wujudkan-keadilan-sosial-bagi-seluruh-rakyat-indonesia
  39. Berita dan Informasi Toleransi agama Terkini dan Terbaru Hari ini - detikcom, diakses Juni 25, 2025, https://www.detik.com/tag/toleransi-agama
  40. Membangun Toleransi Beragama: Refleksi dari Kasus Larangan Ibadah oleh ASN terhadap Tetangga - NU Jateng, diakses Juni 25, 2025, https://jateng.nu.or.id/opini/membangun-toleransi-beragama-refleksi-dari-kasus-larangan-ibadah-oleh-asn-terhadap-tetangga-xWCFA
  41. Tingkat Penetrasi Internet Indonesia Capai 79,5% per 2024 - Databoks - Katadata, diakses Juni 25, 2025, https://databoks.katadata.co.id/teknologi-telekomunikasi/statistik/e6f9d69e252de32/tingkat-penetrasi-internet-indonesia-capai-795-per-2024
  42. Analisis Pertumbuhan Pengguna Internet Di Indonesia - jurnalmahasiswa.com, diakses Juni 25, 2025, https://jurnalmahasiswa.com/index.php/biikma/article/download/1032/692/2267
  43. Peran Teknologi (ChMS) Sebagai Pilar Pengembangan Gereja, diakses Juni 25, 2025, https://www.erista.io/id/blog/peran-teknologi-chms-sebagai-pilar-pengembangan-gereja
  44. Pemanfaatan Media Digital dalam Pelayanan Gerejawi, diakses Juni 25, 2025, https://e-journal.stttransformasi-indonesia.ac.id/index.php/teleios/article/download/79/pdf
  45. MEDIATISASI IMAN: DAMPAK TEKNOLOGI KOMUNIKASI TERHADAP GEREJA KONTEMPORER MENURUT AMSAL 1:5 | EKKLESIA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, diakses Juni 25, 2025, https://ojs.sttekklesiaptk.ac.id/index.php/ekklesia/article/view/83
  46. Simak Perbedaan Perkumpulan Organisasi dan Yayasan Mulai Dari Keanggotaan Hingga dasar Hukumnya - SmartLegal.id, diakses Juni 25, 2025, https://smartlegal.id/badan-usaha/pendirian-yayasan/2025/05/09/simak-perbedaan-perkumpulan-organisasi-dan-yayasan-mulai-dari-keanggotaan-hingga-dasar-hukumnya-sl/
  47. Pemberian Pertimbangan Untuk Pengesahan Badan Hukum Organisasi Kemasyarakatan Yang Memiliki Kekhususan Di Bidang Keagamaan - Peraturan BPK, diakses Juni 25, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/181347/peraturan-menag-no-19-tahun-2021
  48. Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Pemberian Pertimbangan Untuk Pengesahan Badan Hukum Organisasi Kemasyarakatan Yang Memiliki Kekhususan Di Bidang Keagamaan, diakses Juni 25, 2025, https://kankemenagkotamadiun.id/home/peraturan-menteri-agama-nomor-19-tahun-2021-tentang-pemberian-pertimbangan-untuk-pengesahan-badan-hukum-organisasi-kemasyarakatan-yang-memiliki-kekhususan-di-bidang-keagamaan/
  49. Apakah Ormas Bisa Menjalankan Kegiatan Bisnis Secara Hukum? - Sah! News, diakses Juni 25, 2025, https://news.sah.co.id/apakah-ormas-bisa-menjalankan-kegiatan-bisnis-secara-hukum/
  50. (PDF) MISIOLOGI DALAM MENGUPAYAKAN KELESTARIAN EKOLOGIMisiologi Kristen dalam Pelestarian Lingkungan di Tengah Krisis Ekologi Global - ResearchGate, diakses Juni 25, 2025, https://www.researchgate.net/publication/389239166_MISIOLOGI_DALAM_MENGUPAYAKAN_KELESTARIAN_EKOLOGIMisiologi_Kristen_dalam_Pelestarian_Lingkungan_di_Tengah_Krisis_Ekologi_Global
  51. The Church's Ethical Responsibilities towards Net-Zero Carbon Emissions Objectives - GNOSI: An Interdisciplinary Journal of Human Theory and Praxis, diakses Juni 25, 2025, https://www.gnosijournal.com/index.php/gnosi/article/download/199/235/703
  52. Tanggung Jawab Gereja dalam Melestarikan Lingkungan Hidup di Geosite Sipinsur Desa Pearung Kecamatan Paranginan, diakses Juni 25, 2025, https://ejurnal.stpkat.ac.id/index.php/jutipa/article/download/382/452/1541
  53. sosialisasi ekologi teologi bagi jemaat gksi immanuel bagi penghijauan di kecematan kuala behe - JURNAL SETIA, diakses Juni 25, 2025, https://jurnal.sttsetia.ac.id/index.php/pkm/article/download/57/52/310
  54. Randas 06 Tata Gereja - GPIB Indonesia, diakses Juni 25, 2025, https://gpib.or.id/wp-content/uploads/2019/10/Randas-06-Tata-Gereja.docx
  55. PERSEPULUHAN SEBAGAI DASAR MEMPEROLEH CHARITABLE DEDUCTION: STUDI BANDING INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT1, diakses Juni 25, 2025, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/download/41158/21741
  56. Kompetensi manajerial pendeta sebagai solusi bagi kepemimpinan gereja, diakses Juni 25, 2025, https://www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios/article/download/652/381/3881
  57. Kompetensi manajerial pendeta sebagai solusi bagi kepemimpinan gereja: Studi kasus di lingkungan Gereja Protestan Maluku | KURIOS, diakses Juni 25, 2025, https://www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios/article/view/652
  58. PENDETA BERKUALITAS TERUS DISIAPKAN - GPIB Indonesia, diakses Juni 25, 2025, https://gpib.or.id/pklu-gpib-kharis-rayakan-syukur-6-tahun%EF%BB%BF/
  59. Protestant Church in Indonesia - Wikipedia, diakses Juni 25, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Protestant_Church_in_Indonesia
  60. ECCLESIA IN TRANSITU, BETWEEN ALFA DAN OMEGA GPI and New Notae Ecclesiae - Universitas Kristen Duta Wacana, diakses Juni 25, 2025, https://journal-theo.ukdw.ac.id/index.php/gemateologika/article/download/996/418
  61. Statistik Pemuda Indonesia 2024, diakses Juni 25, 2025, https://www.bps.go.id/id/publication/2024/12/31/b2dbaac4542352cea8794590/statistik-pemuda-indonesia-2024.html
  62. How to attain purpose-led business transformation | EY - UK, diakses Juni 25, 2025, https://www.ey.com/en_uk/insights/workforce/how-to-attain-purpose-led-business-transformation
  63. Purpose Led Transformation - TLC-Global, diakses Juni 25, 2025, https://tlc-global.com/wp-content/uploads/2015/10/KZN-Lean-Conference-2015_Kris-Pederson_EY_Purpose-Led-Transformation-Strategy.pdf
  64. Tata Dasar Dan Tata Rumah Tangga GTM THN 2021 | PDF - Scribd, diakses Juni 25, 2025, https://www.scribd.com/document/708173874/Tata-Dasar-dan-Tata-Rumah-Tangga-GTM-thn-2021
  65. BUKU PEDOMAN RENCANA STRATEGIS PERTUMBUHAN GEREJA GPIB JEMAAT FILADELFIA, diakses Juni 25, 2025, https://gpibfiladelfiabintaro.org/asset/files/khotbah/Draft_Buku_Rencana_Strategis_GPIB_Filadelfia.pdf
  66. Program - Sinode Am Gereja Protestan di Indonesia, diakses Juni 25, 2025, https://sinodeamgpi.id/program/
  67. Sinode Gereja Protestan Indonesia Di Papua, diakses Juni 25, 2025, http://sinodegpipapua.org/?page_id=992
  68. Sinode Gereja Protestan Indonesia Di Papua, diakses Juni 25, 2025, http://sinodegpipapua.org/?page_id=1016&paged=2
  69. webmaster - Sinode Am Gereja Protestan di Indonesia, diakses Juni 25, 2025, https://sinodeamgpi.id/author/elya-muskittagmail-com/
  70. Pertemuan Tim GPI Papua dengan BD-GMIT, diakses Juni 25, 2025, http://sinodegpipapua.org/pertemuan-tim-gpi-papua-dengan-bdgmit